Monday, October 22, 2007

Selamat Lebaran

Monday, October 08, 2007

Orang-orang Iklan

Iklan. Penghias televisi. Yang sebetulnya jadi sumber pemasukan bagi si stasiun televisi itu sendiri. Setiap orang punya televisi, paling tidak satu. Jika itu benar, maka sempitlah pengetahuan saya tentang media ini. Dan iklan sebagai penghiasnya? Tambah sempit lagi pengetahuan saya. Tak lebih dari manusia picik yang hidup dalam tempurung. Kenapa?

Pernah lihat iklan? Pastinya pernah! Saya yakin setiap orang yang tidak buta huruf pernah melihat iklan. Sekelebat dua kelebat atau malah mencermatinya. Atau yang punya televisi pastinya akan pernah melihat iklan. Jika tidak punya televisi? Di jalanan sekarang rimba raya iklan. Sejauh mata memandang akan bisa dilihat iklan terpancang-pancang, ditempel sanasini. Mengganggu pandangan? Mengganggu pemandangan? Jadi, iklan tak hanya penghias televisi, penghias jalanan, penghias majalah, Koran, radio, tembok, tiang jembatan layang, seng, trotoar, tiang listrik, bilik telephon bahkan tubuh anda sendiri.

Coba cermati iklan-iklan di negeri kita ini! Isinya sama! Entah itu produk jenis apa keluaran dari pabrik mana. Ini tentunya tak lepas dari kreator iklan itu sendiri.

--o0o—

“Wah kowe wis cocok dadi wong iklan!” Begitu kata saya sambil bercanda pada seorang teman yang kebetulan seorang copywriter (penulis naskah iklan) di sebuah biro (agency) iklan yang cukup ternama.

Lho, ha ngopo?” (Lho kenapa?)

“Ngomongmu wis nganggo kata “at least”. Wis cocok kowe, tenan!”

((gaya) bicaramu sudah menggunakan kata “at least”. Udah cocok kamu, bener)

“Hooh po?” (Apa iya?)

“Lha mau! Lagi entas wae. Trus wingi pas neng Yahoo!Messenger.”

(Lha tadi! Barusan saja. Trus kemarin pas di Yahoo!Messenger)

“Hooh jhe… hehe.”

“Mik kurang kata “wich is”. Yen kowe wis iso nganggo rong kata kui, wis sempurnalah! Mik yo dadine kowe dadi… opo yo? Keseret koyo biasane wong iklan. Yen iso malah kowe gawe istilah anyar liyane mau kae. Lha yen kabeh wong iklan podho njuk piye?”

(Hanya kurang kata “which is”. Kalau kamu udah bisa memakai kata itu, sempurna sudah! Hanya jadinya kamu seperti yang lain. Keseret. Kalau bisa malah kamu bikin istilah baru yang beda dari yang tadi. Lha kalau semua sama terus gimana coba?)

“Hooh jhe, aku yo ngrasakne. Ndhisik pas aku neng D***d trus saiki aku neng C*** ****o wonge ki meh seragam kabeh!”

(Iya, aku juga merasakan. Dulu pas saya di **** trus sekarang saya di **** orang-orangnya hampir seragam semua!)

Sebuah percakapan kecil yang sebenarnya bersama beberapa teman lain. Dan entah kenapa, dalam tiga hari kebelakangnya ternyata ada beberapa percakapan dengan teman-teman yang berbeda yang mirip permainan puzzle bagi saya. Anatar lain tentang sebuah pertanyaan pada diri saya; kenapa saya tak terlalu mempercayai AC Nielsen (Lembaga riset multinasional)? Kenapa saya tak begitu percaya teori? Kenapa iklan Indonesia monoton?

--o0o—

“at least” dan “which is” adalah kata-kata yang sering saya dengar dari orang iklan. Pertama kali memasuki dunia iklan kata itu terasa biasa saja. Namun lama baru saya sadari, ternyata hampir semua orang iklan memakainya. Gaya berpakaian mereka juga sama. Bahkan ada yang lebih insightfull, wanita paruh baya yang bekerja perusahaan iklan, biasanya biro iklan besar, suka sekali memakai selendang yang dilingkarkan di leher. Selendangnya panjang menjuntai hampir menyentuh lantai. Yang jadi Account Executive (AE) bekerja bagai kilat, sementara Art Director (AD) dan Copywriter (CW) terlihat lebih santai. Biasanya malam mereka bekerja, jadi terlihat lembur, atau dibawa di rumah. Tas yang dipakai juga sama. Laptop-nya sama. Jika tidak, paling nggak branded-lah barangnya. Sepatunya juga sama. Potongan rambut juga sama. Tempat mereka hang-out sama (manalagi tempat hang-out di Jakarta yang menarik? Hiburan di kota ini monoton! Bahkan sejak lima tahun yang lalu hanya bergeser mereknya saja.). cara mereka hang-out sama. Saat mereka berkumpul di festival iklan, misalnya, tak ubahnya seperti murid-murid Sekolah Dasar yang kesenangan karena lonceng tanda istirhat berbunyi, berhamburan ke luar dengan pakaian yang sama di tempat yang itu-itu saja. Merah-putih.

Kenapa saya menulis ini?

Karena saya merasakannya. Dari manusianya yang belajar iklan sampai manusia iklan itu sendiri. Dan situasi seperti yang saya ceritakan di atas hampir-hampir tak berubah sejak pertama kali saya bersentuhan dengan dunia iklan. Sekitar 5 tahun yang lalu!

Edan! 5 tahun! Padahal konsumen selalu berubah setiap saat. Padahal konsumen adalah sasaran dari iklan itu. Jika orang iklannya tak berubah, pantas saja iklan Indonesia tampak monoton.

Maaf saja jika tulisan ini terasa lebih vulgar dari tulisan-tulisan saya di bawah sana.

Lalu.

Teman saya yang baru saja pulang dari luar Jawa bercerita tentang keadaan di sana. Standar pemerintahan yang pastinya sudah bisa kalian tebak. Sekilas cara mengkonsumsi media hampir sama. Namun acara yang digandrungi ternyata beda dengan dipulau Jawa. Apalagi, beda sekali sama hasil riset AC Nielsen yang memang kebanyakan respondennya di Jawa. Dan saya sendiri pun hampir tak percaya bahwa suku Asmat (karena saya sendiri juga belum sempat ke sana) di pesisir Papua sana ternyata di rumahnya sudah terpasang antenna parabola yang bisa menerima siaran dari luar negeri, dengan koneksi internet dan dari aksesorisnya berkacamata Oakley terbaru dan memegang handphone nokia. Sementara mereka berpakaian suku primitif dan banyak orang menjadikannya obyek bagi kamera mereka. Itu yang saya dengar dan lihat waktu suku Asmat bertandang ke Ancol, Jakarta.

Indonesia terdiri dari bermacam suku bangsa. Itu sudah jadi pelajaran sejak SD! Kalau ada pameran budaya di luar negeri, pasti akan bingung karena tak menemukan buadaya Indonesia, karena adanya budaya Jawa, Sumatra, Bali, Flores, Papua dan sebagainya. Setiap daerah itu punya karakteristiknya sendiri-sendiri. Punya cara dan adatnya masing-masing. Jika orang ilklannya monoton apa bisa diperbuat dalam waktu-waktu ke depan? Apalagi kebanyakan dari teori iklan adalah teori dari luar negeri Indonesia. Apa mau di kata? Tak ubahnya sebagai pemaksaan! Pemaksaan teori pada karakter bangsa-bangsa. Apa yang terjadi? Mau tak mau karakter itu dipaksa punah. Dipunahkan.

Lulusan komunikasi yang semakin banyak seharusnya dapat mengubah wajah berbagai media di negeri ini. Namun sayangnya banyaknya lulusan itu tak berbanding lurus dengan kualitas media. Lihat saja, acara sahur tiap bulan Ramadhan sudah sejak 7 tahun lebih ke belakang isinya hanya guyonan saja!

Mungkin semasa “Medan Prijaji” (Medan Priyayi) dulu terbit sebagai harian pertama di Hindia, media massa memegang pernanan penting untuk menggerakkan massa. Saat Medan Prijaji memberitakan bahwa sepatu bukanlah simbol dari Kristen dan bukan simbol dari hal yang berbau Eropa, maka esok harinya berbondong-bondong anak mudanya ke took sepatu, menghiasi kaki mereka dengan sepatu-sepatu. Dan sekarang media semakin clutter dengan pemberitaan yang dramatis dan bombastis!

Lalu saat orang-orang iklan berburu award. Pihak klien tetap berburu rupiah. Sebuah hukum ekonomi yang tradisional melawan kegiatan yang lebih bersifat sosial dari orang iklan. Walhasil, ber-onanilah orang-orang iklan. Apa mau diperbuat? Nanti jadi seperti saya! Manusia picik yang tersungkup dalam tempurung.

Mungkin saja permasalahannya Nasionalisme?

Nasionalisme?

Saya sering diejek teman-teman saya. "Hari gini ngomongin Nasionalisme! Jaman globalisasi kok ngomong nasionalisme!" Biarkan saja. Beberapa taun ini saya jadi nasionalis... hehe... Sebab saya pikir, tanpa itu bangsa kita akan terus diinjek sama bangsa lain. Dari ekonominya, informasinya, budayanya... bah! Tentu masih segar dalam ingatan lagu "Rasa Sayange" yang dari Maluku itu hak ciptanya sudah keunyaan Malaysia! Dan saya setuju dengan ide Andre Hehanusa, karya dibalas karya. Dan saya rasa itu bukanlah kepintaran Malaysia, hanya kebodohan kita yang tak memikrkan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Tempe kalo ndak salah udah milik Inggris. Batik udah milik Malaysia. Sisi mana lagi keindahan Indonesia yang mau di ambil alih manusia luar?

Lebih setengah abad rasanya belum mampu menghapus penjajahan yang tiga setengah abad itu! Masih terlalu muda. Seperti halnya manusia muda, kita harus banyak belajar pada banyak hal. Apapun pada siapapun. Apalagi negeri tetangga yang kebanyakan lebih muda dari usia negeri ini. Masih kental rasa untuk memiliki sesuatu yang dipandangnya bagus tapi bukan miliknya. Harus pandai ngemong pada manusia muda itu. Biasanya kan anak kecil masih tak punya malu untuk berlarian tanpa baju di tanah lapang!


--o0o—

Sebuah kesempatan. Saya mendapat beasiswa untuk sekolah iklan di Jakarta. Hasil dari menang sebuah lomba. Apa yang terjadi? Ternyata cerita saya di atas tentang orang-orang iklan yang sama itu sudah terjadi sejak masa perkuliahan! Gaya bicaranya sama, tongkrongannya sama, laptopnya sama, pakaiannya sama, sepatnya sama, hang-out nya sama, tempat makannya sama.

Bayangkan sebuah kotak. Boleh warnanya merah, putih, item, abu, biru terserah warna yang kau sukai. Bagilah kotak itu. Bisa dengan diiris-iris sama besar, dicacah hingga irisannya berbeda-beda ukuran, dicuil-cuil terserah kalian. Apa yang kalian lihat? Bagian-bagian dari kotak itu, tercerai berai dengan ukuran seperti halnya kalian membagi kotak itu. Tapi warnanya tetap saja semuanya seperti warna yang kalian bayangkan. Sama semua. Berbeda dengan mainan puzzle, tiap bagian punya perannya sendiri. Mereka berbeda. Mungkin hampir sama warnanya. Tapi walaupun mereka berbeda-beda, mereka saling melengkapi dan menjadi satu bagian utuh bersama.


--o0o--


Jadi paling tidak kita akan melihat iklan yang sama dalam beberapa tahun ke depan lagi. Entah itu produk apa dari pabrik mana.

Kapan kita berubah?

Apa akan terus jadi katak?

Apa akan terus melihat jauh kemilau emas di luar yang belum tentu terjangkau, sementara lautan permata dan berlian ada di dekat kita?

Saturday, September 01, 2007

Energizer



"Tetap Menyala"

Copywriter
Dhanan Arditya

Art Director
Sigit Maryuwanto

Tugas saat kuliah di Imago, Jakarta.

Lomba Poster Menpora 2006

Tema lomba Poster "Industri Olahraga"



Juara 1
"Alat untuk menang"



Juara 3
"Kibarkan merah-putih"

Wednesday, August 15, 2007

अस...


हस्स्स... एम्बुह... सक करेप्मू!!!!

Saturday, August 04, 2007

Joke Jakarta

Di sinilah Timbulsukoco. Batavia. Itu nama tempat ini dulu, sewaktu koloni Nederland masih bercokol di negeri ini selama tiga setengah abad. Tiga setengah abad! Edan! Tak pendek waktu seperti itu. Lebih dari tiga generasi. Beruntungnya kita. Paling tidak dari mereka yang tak pernah mengecap kemerdekaan. Biar bagaimanapun, terjajah punya rasa yang pahit. Akan selalu di bawah. Jadi budak. Jadi babu. Jadi orang asing di tanah sendiri. Di bawah tamu yang bermuka manis, lalu menikam dari belakang. Diinjak hingga rata. Diperas sampai kering. Merdeka, biar terseok tapi punya harga diri. Mencoba berdiri dengan kaki sendiri. Hasilnya terasa lebih manis. Hanya saja banyak yang terlena. Tak terduga, penjajahan gaya baru sedang berlangsung.


Batavia. Nama pemberian dari bangsa Belanda itu. Yang mengaku asli dari kota ini menyebutnya sebagai Betawi. Entah karena perbedaan jenis lidah atau sekedar penyederhanaan saja. Lidah yang terpleset, dari Batavia menjadi Betawi. Nama Betawi masih saja terdengar hingga hari ini. Fatahillah pun memberi penamaan yang lain bagi kota ini, jauh sebelum nama Batavia ada. Jayakarta. Yang lagi-lagi berubah juga menjadi Jakarta.


Bosan si Timbul dengan kota ini. Tak pernah dia berpikir akan berada di kota ini. Walaupun banyak orang berusaha datang ke sini. Mengadu nasib dan peruntungan. Apa menariknya? Dari loteng tempat dia kos saja jarak pandangnya tak begitu jauh. Tertutup asap polusi kota yang kian hari kian menumpuk. Mengancam masa depan yang harusnya dipupuk untuk dipanen di saat yang tepat. Sejauh mata memandang semua benda mati terpancang-pancang angkuh menyangga langit. Menyembul dari kesumpekan yang ada di bawahnya. Sombong sekali dia! Awan pun bakal tersangkut saking tingginya pancang langit itu. Tempat bermain yang menyenangkan jika Spiderman ada di sana. Tapi pasti Aladdin akan ketir-ketir jika permadani terbangnya ngebut di sini. Menghindar ke kiri dan ke kanan. Huh… gedung-gedung itu. Tak pernah bergerak barang sesenti pun. Julang menjulang menantang langit. Di dalamnya banyak manusia saling berpacu. Berlomba. Seakan ada setan yang mengejar di belakangnya tiap hari.


Dari loteng sini hanya pepohonan saja yang terasa hidup. Bergoyang diterpa angin. Diancam polusi. Belum lagi mata gergaji jika si pohon sudah dirasa mengancam jiwa yang ada di bawahnya. Pohon. Jumlahnya pun tak lebih banyak dari pohon di pekarangan kakek Timbulsukoco di Prambanan. Rindu dia dengan suasana desanya. Biar dibilang ndeso. Biar dibilang medhog. Biar dibilang ketinggalan jaman. Dia bangga dengan kotanya sendiri. Bangga dengan medhog-nya. Biara tambah puas mereka menyebutnya “Jawa”! Bukan chauvinis. Dia hanya merasa tak banyak lagi yang memikirkan kotanya. Sebagai rumah tempat dia tinggal. Tempat suatu saat dia akan pulang. Berkumpul lagi dengan masa lalunya. Tak banyak lagi yang peduli dengan kotanya, apalagi dengan negeri ini. Kotanya sudah ditumbuhi mal. Hampir-hampir tercerabut akar budayanya. Manusianya sudah merasa populis. Bicara dengan logat “Lu” atau “Gue”. Bahkan rajanya pun sudah terkesan matre dan gila kekuasaan. Bisa jadi pepohonan dipekarangan neneknya itu akan menyusul di kemudian hari. Menggusur naungan anak-anak kecil yang bermain di bawahnya.


Aiii… kota yang gagah. Batavia. Jakarta. Ramai di siang hari. Gemerlap di malam hari. Denyutnya kencang macam manusia yang kena jantung. Disedotnya semua anak negeri ke kota ini. Ribuan mimpi berdatangan tanpa dipanggil. Tak banyak yang berhasil meraihnya. Betapa sayangnya. Negeri ini amat kaya. Negeri ini amat luas. Sayang jika hartanya hanya dikumpulkan di satu tempat.

Negeri ini amat indah. Saking indahnya, banyak orang tertarik padanya. Ingin mereka datang ke negeri ini. Gunung gemunungnya berwarna-warni mirip karpet bikinan Istambul. Malah lebih indah. Sayang, bayak yang dibakar. Mungkin mereka ingin bikin motif yang baru. Jika katulistiwa ini adalah sebuah cincin bagi bumi ini, maka negeri ini adalah mahkotanya. Zamrud yang indah. Bikin bangga orang yang memakainya. Bikin iri orang yang melihatnya. Kilaunya gilap gemilap diterpa cahaya. Nampak cantik. Amboi... negeri yang indah. Pantas saja negeri lain pada iri dibuatnya. Sampai-sampai mereka mengeluarkan Travel Warning!


Travel Warning
berbahasa Inggris British. Berbahasa Inggris Amerika. Timbul tak tahu apakah yang dari Australia memakai bahasa Aborigin atau bukan? Mungkin mereka masih berbahasa orang buangan. Pesakitan dari seluruh British Commonwealth.

"Hai kalian semua! Janganlah kau datangi negeri Indonesia! BERBAHAYA! Karena terlalu cantik! Terlalu indah! Nanti kalian malah jatuh cinta padanya. Tak akan nanti kalian kembali kenegeri kalian. Jangan! Awas ya.... kalau saya bilang "Jangan" ya jangan! Kalau melanggar, kalian rasakan sendiri akibatnya! Biar saja negeri itu begitu. Biar mereka terbuai dalam keindahannya. Biar mereka tetap menghamba pada kita. Pada teknologi kita. Pada kemajuan kita. Lama kelamaan kan negeri itu akan jadi milik kita. Lihatkan! Tak lama lagi. Bahasa mereka saja sudah lama rusak. Mereka sendiri yang merusaknya. Lalu negeri itu milik kita. Oke!" Begitulah kira-kira isi Travel Warning itu.


“Timbul abis pulang dari Jawa ya?”
“Iya bu. Mudik sebentar. Kangen sama Jogja! Senin ini harus masuk lagi.”

Ke Jawa! Jawa! Duh… sombongnya!

Apa dia pikir Jakarta ini bukan di Jawa?

Apa pernah Ferdinand de Lezep pernah mampir ke Jakarta dan menggali sebuah terusan untuk memisahkan Jakarta dari Jawa? De Lezep memisahkan Afrika dengan Asia. Dibangunnya terusan Zues. Dengan memipil sedikit Mesir ke Afrika. Walau begitu, Mesir pun masih menjadi bagian dari Asia. Betapa sombongnya kata-kata orang itu. Dalam hati Timbul mengumpat. Jawa! Jogja ada di tengahnya, agak ke selatan. Dan Jakarta ada di, hampir, ujung sebelah Baratnya. Kita sama-sama di Jawa! JAWA! Pelecehan!


Jawa. Ya… Jawa.Dulu pulau ini punya budaya tinggi. Sebelum diinjak-injak para muka pucat dari Nederland. Salah satu negeri di Eropa. Yang daerahnya, kalau bukan karena memanfaatkan tenaga paksa dan hasil bumi dari Hindia, pasti sudah hilang ditelan laut. Tak ada Nederland dalam peta dunia! Tak ada! Neither Land!


Orang-orang Majapahit yang ada di Jawa pun sudah menaklukkan samudra ketika orang-orang Eropa masih belum mengenal pakaian dan tinggal jadi manusia gua. Jauh sebelum Bartholomeus Diaz atau Vasco da Gamma mengelilingi lautan. Namun tercatat pun tidak. Hanya tergambar dalam salah satu fragmen relief di Borobudur. Itulah sejarah. Selalu berpihak pada yang berkuasa. Selalu begitu. Dan akan terus begitu. Sejarah sangat subjektif. Para pahlawan hanya propaganda penguasa untuk mengukuhkan kekuasaan. Sekarang Baratlah yang berkuasa. Eropa. Amerika. Yang di Timur hanya menerima saja. Coba jika bangsa Cina dulu tak menemukan kertas. Mau bikin apa si Guttenberg! Coba dulu jika Richard si Hati Singa tak membakar perpustakaan besar di Baghdad. Sudah terseok-seok pula mereka sekarang mengikuti perkembangan teknologi orang-orang Asia! Dasar raja tak tau terimakasih! Harusnya Sultan Saladdin tak membantunya menyembuhkan penyakitnya.


“Ah… di sini lagi. Di kota ini lagi.” Desah Timbul. “Bosan!”

Belum setengah jam dia ada di Jakarta lagi, sudah kangen lagi dia dengan Jogja. Sebetulnya rasa kangennya dengan Jogja sudah ada sejak kereta beberapa senti mulai meninggalkan stasiun Tugu. Lalu melewati jembatan kereta Badran. Dapat dilihat di Selatan perempatan mencekung dengan guratan-guratan lampu berwana kekuningan. Mobil dan motor saling berseliweran (Sedikit ke Timur akan segera sampai Malioboro). Sesudah itu, pintu kereta Wirobrajan. Wah… diselatan sana ada rumah teman-teman. Tempat berkumpul dan bersendau gurau atau keluar malam-malam mencari makan di warung Angkring Lik Min. menikmati jahe panas gula batu dan beberapa camilan dan obrolan malam yang hangat. Lalu, Wates… dan Timbul pun meninggalkan Jogja. Makin penuh rasa kangennya. Pada kota kecilnya. Yang diharapkannya akan tetap kecil dan menjaga ke-ndes

oan-nya. Agar dia masih punya tempat untuk pulang.


Dulu waktu pertama kali ke kota ini. Dia hanya pingin tau, kenapa banyak orang ingin mendatangi Jakarta. Pertama kali dating dengan kereta ekonomi. Panas. Pengap. Biayanya dari uang patungan teman-teman kampus. Memang hanya cukup untuk kereta ekonomi pulang balik. Belum untuk transport mondar-mandir di sana. Timbul berdua dengan temannya yang lahir dan besar di Jakarta. Lalu kuliah di Jogja (akhirnya temannya sendiri jatuh cinta juga dengan Jogja. Tak mau dia kembali ke Jakarta). Kereta merayap lambat. Bahkan mogok di salah satu stasiun! Mogok selama dua jam! Dan akhirnya telat pula beberapa jam sampai di Jakarta. Tujuan mereka adalah mencari dana dari para alumni kampus untuk penerbitan media di kampusnya. Fisipol, Komunikasi UGM.


Kunjungan pertama itu ternyata tak begitu memikat. Jakarta ternyata tak seperti yang diomongkan orang. Tak betah juga dia di sana. Ditahannya rasa ingin pulang. Waktu seminggu. Hanya seminggu. Tujuh hari. Harus kuat. Dana belum terkumpul mencukupi. Media harus terbit. Mengharapkan universitas memberi dana sama saja mencubit raksasa. Mereka harus berjuang sendiri. Menghidupi dirinya sendiri. SPP cuman 225 ribu saja banyak minta! Diterima juga udah sukur. Di swasta, biaya per semester mahasiswa di sana bisa cukup untuk membayari kuliah Timbulsukoco… Hingga tamat!


—o0o—

Kleterk!
Timbul mencoba meluruskan persendiannya dengan memutar tubuhnya. Capek. Sekitar delapan jam duduk dalam kereta, menunggu sampai. Lebih cepat kereta ini, dari saat dia pertama kali naik kereta ke Jakarta. Sudah bisa beli yang ada AC-nya sekarang dia rupanya. Tapi tetap saja. Capek! Masih ada waktu barang satu setengah jam untuk meneruskan tidur.


Satu setengah jam berselang. Bangun tak langsung bangun. Masih terasa malas. Hari senin. Ke kantor lagi. Mencoba mengabdikan diri pada sebuah perusahaan dengan banyak intrik licik di dalamnya. Kantor. Kerjaan. Kata-kata itu terlalu serius saja buat Timbul. Kenapa ada kata “kantor” dan “pekerjaan” dalam kosakata bahasa Indonesia. Kenapa? Bikin penat saja. Kenapa pula J.S. Badudu memasukkannya dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Dalam pikiran Timbulsukoco sendiri dia mencoba membangun citra. Dia persepsikan. Kantor adalah tempat bermain. Dan pekerjaan adalah permainannya. Jadi mari bermain-main. Bangun dari tempat tidur! Lekas mandi! Sambut hari ini! Sehabis dari Jogja pasti Timbul bawa semangat baru. Mari lekas segera bermain.


Timbul pun bangun. Kembali memutar tubuhnya ke kiri dan kanan. Terdengar geletukan persendian yang longgar. Bangkit dia dari kasurnya. Menuju televisi yang jaraknya hanya selangkah. Dihidupkannya. Di pindah-pindah channelnya. Malah bikin bosen datang lagi. Menyesal dia menghidupkan televisi. Harusnya tak dihidupkan. Acaranya pagi-pagi selalu gossip! Tak ada yang lain! Acara televisi makin tak karuan!

Tampaknya mendengarkan Pizzicato Five atau Pink Martini akan membuat hari ini kembali menghentak!


—o0o—

Mari… mari sini. Biar diajaknya kau ke Jakarta. Di sini banyak bangunan tinggi, lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi di desamu. Yang mungkin suatu saat kau akan berada di dalamnya. Memanjatinya tiap hari dengan eskalator atau lift tanpa harus capek. Banyak tempat dan manusia lucu di sini. Kau pasti akan tertawa jika berhasil menyibak sisi lucunya. Tapi, jangan bayangkan di sini banyak pelawak. Pelawak betulan di sini tak lebih lucu dari pelawak-pelawak Srimulat. Mungkin karena beda budaya. Kau harus siap menghadapinya. Siap dengan budaya baru. Jika tak siap, bisa-bisa kau dianggap orang aneh di sini. Bikin orang lain ilfil (Ilang feelling). Lalu menjauhimu. Bahkan para wanita pun tak akan mau berdekatan denganmu jika kau masih bau kubis dapur atau rambutmu acak-acakan dan bau matahari.


Di sini juga banyak mal. Tempat belanja dengan benda apa saja di dalamnya. Beda dengan pasar Sambilegi yang dulu kau sambangi jika ibumu menyuruhmu mengantarnya belanja di sana. Di mal ini semuanya ada. Dari mobil hingga barang-barang bajakan. Pernah kau lihat ada orang menjajakan mobil di pasar Sambilegimu? Tentu tak pernah. Paling banter hanya mobil-mobilan. Digantung-gantung dengan plastik seadanya dipaku dalam bambu yang sudah hitam keriput. Itupun dengan kualitas nomor sekian.


—o0o—

Sewaktu jurusan tempat Timbulsukoco kuliah dulu melakukan studi banding ke perusahaan-perusahaan di Jakarta banyak hal lucu terjadi. Salah satu acaranya adalah pergi ke mal. Taman Anggrek menjadi sasarannya. Masuklah mereka ke sana. Heran! Seperti di Hong Kong saja. Sementara Timbulsukoco dan beberapa temannya yang lain di depan pintu Mal Taman Anggrek yang unik. Berputar. 360 derajat. Bentuknya, tentu saja bulat. Terbuat dari bahan tembus pandang. Ada bagian tertentu yang jika melewatinya, kita akan benar-benar terkurung barang setengah detik di dalam pintu itu.

Mereka terheran-heran melihat pintu itu. Berdiri berjajar memandangi pintu itu dimasuki orang-orang. Terbengong-bengong.

“Kita masuk saja!”
Wah… wedi aku!” (Wah… takut saya)
Aku yo ho oh!”
“Mengko yen pas awak dewe mlebu, trus lawange macet pas neng nggon sing ketutup kui piye hayoh?! Awak dewe malah raiso metu!”
(Nanti kalo pas kita masuk, trus pintunya macet pas di tempat yang tertutup semua itu gimana hayoh!? Kita malah nggak bisa keluar!)
Hooh… ning kok yo, aneh-aneh ae yo? Sing nggawe sopo yo?” (Hooh… tapi kok ya aneh-aneh ya? yang bikin siapa ya?)
Mbok wis, dikek i lawang biasa ae ngopo?” (Mbok sudah, dikasi pintu b

iasa aja gimana?)
“Hooh, dikek i lawang koyo omahmu kalo lho tho?”
(Hooh, dikasi pintu seperti yang di rumahmu itu lho tho—“tho” kalo dalam bahasa Indonesia semacam “Bro”)
Nganggo kere ae ngopo! Trus di pasangi lincak ngarepe. Trus ono manuk kutut e neng ndhuwur! Karo ngopi-ngopi kan penak tho metheti manuk kutut! Neng moll meneh!” (Pake kerai aja gimana! Trus dipasangi kursi malas bambu depannya. Trus ada burung perkututnya di atas! Sambil ngopi kan enak bermain sama burung perkutut! Di mal lagi!)
“Huahahaha…!”


Semua tertawa. Sebuah “rapat” kecil terjadi di depan pintu mal yang besar itu. Tanpa malu mereka membentuk lingkaran. Duduk bersila. Beralas lantai marmer yang lebar. Hanya untuk memutuskan apakah akan masuk mal itu atau tidak. Obrolan malah berkembang tak tentu arah. Imajinasi dan kelucuan terlontar. Lepas. Tanpa kepalsuan. Diantara orang yang lalu lalang. Malah yang lalu lalang tersenyum-senyum melihat kondisi Timbulsukoco dan teman-temannya. Saling menertawakan tepatnya. Timbul dan temannya menertawakan keadaan Jakarta. Akhirnya mereka diusir satpam. Menggangu pemandangan katanya! Masa lesehan di depan mal. Ini bukan Malioboro!


Maka diputuskan bahwa Timbulsukoco dan kawan-kawannya tidak jadi masuk ke mal Taman Anggrek menyusul teman-teman yang lain. Takut pada pintu, mungkin. Atau takut pada satpam! Mereka kembali ke bis. Membawa banyak kelucuan untuk dibawa pulang. Oleh-oleh untuk diceritakan saat tiba di kampus di Jogja. Dikenang besok saat berkumpul kembali.


Mal tampaknya bukan tempat yang cocok buat Timbulsukoco. Pasti kepalanya jadi pening. Pikirannya berkelana kemana-mana. Tak dapat konsentrasi. Jika berada dalam mal lama-lama bisa-bisa otaknya lepas dari kepalanya. Terpental begitu saja dari batok kepalanya. Hingga dia tak akan ingat lagi apa yang akan terjadi. Memang jarang dia ke mal.


“Tak baik buat kesehatan!” Kata Timbul. “Banyak orang-orang palsu!”
“Lha iya… wong di sana kan banyak jual baju! Jadi pasti banyak mannequin.”
“Bukan… bukan!”
“Lhoh terus?”
“Maksudnya… gini… ehm… gimana ya… o ya! Saya pas ke mal kemaren ketemu Tao Ming Tse!
“Weits! Trus?”
“Rambutnya Tao Ming Tse! Mukanya sih item! Trus kalo ngomong pake lu-gue… tapi suaranya medhog!”
“Ooo… lhah kan sama kayak kau. Medhog!”
“Iya sih. Cuman saya berusaha agar medhog saya nggak ilang. Lha itu, si Tao Ming Tse item itu! Udah medhog-nya pura-pura diilangin, tambah bicara gaya Jakarta lagi!”

“Malu kali dia.”
“Kenapa malu? Memang begitu kok. Kenapa harus dipaksakan?”
“Ya kan orientasi orang beda-beda. Kali aja dia lagi pendekatan ma cewek.”
“Ngapain?! Palsu akan selamanya palsu! Biar ditutupi pakai tembok tujuh lapis. Daun tujuh rupa dengan air dari tujuh samudra pun akan ketauan! Dia tak akan jadi laki-laki sejati!”
Halah! Gayamu! Emangnya kau ini lelaki sejati? Mana cewemu? Jarang saya liat kau sama cewe. Kuliat temen cewemu di Jogja banyak juga. Apa salah satunya punyamu?
“Ya iyalah… dari 70 mahasiswa seangkatan, yang cowo cuman 24! Tuh apa gak dobel-dobel!”
“Trus yang satunya apa punyamu?”
“Hmmm….”

“Cuman… “Hmmm”? tak kau pilih salah satunya di antara mereka?”
“Mungkin cewe memang suka dibohongi!”
“Lhah kenapa? Saya juga pernah dengar kata-kata itu. Tapi pertanyaanku belum kau jawab. Banyak juga teman cewemu. Yang sms banyak. Yang ngajak kau jalan banyak juga. Kenapa tak kau pilih salah satunya?
“Hmmm…” Sambil garuk-garuk kepala. Bingung mau jawab apa. Rambut Timbul malah makin acak-acakan saja.


Tak pandai memang Timbulsukoco menghadapi wanita. Pada dasarnya dia adalah seorang pendiam. Tak banyak bicara. Hanya mau bercerita pada orang-orang tertentu saja. Yang bisa mengikuti gaya bicaranya. Yang bisa mengikuti jalan pikirannya. Memang gaya berpikirnya agak tak meyakinkan. Zig-zag. Tak sistematis. Tapi bukannya tak konsisten. Hanya kalau sudah kenal lama mungkin akan berbeda. Bicaranya lebih blak-blakan. Memberi komentar sekenanya. Kadang malah tak masuk akal hingga terkesan konyol dan menimbulkan banyak tawa.


“Mungkin saya harus jadi si Tao Ming Tse item di mal itu ya?”
“Tu kan… it namanya gak konsisten. Tadi kau kata apa…?”
“Bukan begitu…. Hmmm.”
“Hmmm lagi!”
“Kadang saya merindukan teman-teman saya di Jogja. Bukan kadang lagi. Tiap saat. Mereka lebih jujur rasanya. Lebih terbuka. Suka bilang suka. Enggak bilang enggak. Saat saya punya kesalahan. Mereka dengan terang-terangan mengatakannya pada saya. Hingga saya dapat belajar dari kesalahanku. Di sini, sekarang ini, di Jakarta. Sepertinya mereka sungkan mengataknnya. Tau-tau saja mereka diam. Kenapa? Saya tak tau. Untung saya orangnya cuek. Jadi tak begitu kuhiraukan. Ngapain… padahal saya mau menerima apapun kritik yang ditujukan pada saya. Bahkan jika ada orang bilang saya “Bangsat!” pun akan kuterima. Asal mau mengatakannya baik-baik. Misalnya gini; Eh Mbul… kamu kok bangsat ya!”
“Hehe… jangan pukul rata donk. Ingat ini bukan kotamu. Budayamu berbeda dengan di sini. Banyak orang kira bahwa orang Jogja adalah orang lembut. Tapi nyatanya beda! Contohnya kau sendiri. Dari caramu ngobrol. Bergurau. Kau tipikal Jogja banget! Tapi memang saya rasakan sendiri, cara bercanda orang Jogja memang sarkastik. Bicara lembut namun punya arti yang dalam, bahkan menjurus kasar. Ya… sarkas tadi! Kau pasti mengira bahwa yang di kota besar ini lebih terbuka kan?”
“Yak betul!”

“Ternyata beda bukan?”
“Yak betul!
“Ingat… seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Jangan hanya mempercayai kabar burung. Kau harus merasakannya sendiri. Posisikan dirimu seperti mereka. Jadi jangan menghakimi.”
“Weits… kata-katanya Pramoedya Ananta toer itu. Di novelnya “Bumi Manusia”.”
“Hehe…”
“Tapi… dengan tidak mengatakan duduk persoalannya. Mana tau saya apa kesalahanku? Emangnya saya bisa membaca pikiran orang? Lagian kenapa orang-orang yang tahu kesalahanku itu tak mau juga cerita pada saya, jika tak kupaksa. Apa mereka mau merawat luka yang lama-lama akan jadi busuk?”
“Udah dibilangin! Budayamu tuh beda dengan di sini! Kau harus terima! Kau minoritas di sini. Kau akan dianggap gila jika tak mengikuti mereka!”

“O jadi saya memang harus jadi Tao Ming Tse itu?”
“Nggak perlu! Adhuh… kenapa kau begitu terobsesi sama dia sih?”
“Kalo saya jadi kayak Tao Ming Tse tadi, kan saya sudah bisa bohongi cewe. Dengan begitu saya akan jadi playboy. Saat saya jadi playboy maka tak akan saya sisakan satu cewe pun di dunia ini buat lekaki manapun! Termasuk buat Brad Pitt, Primus, Bill Clinton apalagi kau! Tadikan katanya kalo tak ikut maka akan dianggap gila.”
“Memang kau sudah gila!”
“Asemik!”
“Trus?”
“Apanya?”
“Kenapa kau jadi antipati sama mal?”
“Antipati bukannya benci. Mal. Dibikin sedemikian rupa. Oleh arsitek-arsitek

kelas atas. Etalasenya disusun rapi. Banyak barang di sana. Mata jadi manja. Terbuai oleh imajinasi-imajinasi. Dihasut iklan. Supaya kita beli. Buat dipakai. Dipakai berpalsu tadi. Saya lebih memperhatikan manusianya sih. Seperti… apa ya? Aura saya tak cocok dengan mal itu. Berpalsu-palsu. Saya tak betah. Tak nyaman. Berjuta rayuan gombal cowo pada cewenya. Ya ampun… moga-moga si cewe itu tetap sadar akan dirinya yang sedang dihadapkan pada kepalsuan. Juga si cowo harus berhati-hati. Semakin banyak kata semakin banyak kesalahan. Mereka kira mal hanya milik mereka. Segerombolan pengerat yang coba menguras harta orang tuanya. Mereka pikir semua di dunia ini bisa dibelinya dengan uang. Bisa diselesaikan dengan uang. Tinggal bawa nota. Bawa ke kasir. Semua masalah selesai… gedung gagah itu cukup untuk menutupi wajah yang dia kira tak layak untuk ditonton. Sembunyi mereka dalam yang palsu-palsu.”
“O… menarik? Apa tak ada hal positif di sana? Yang negatif selalu ada yang positif kan. Ingat Tuhan menciptakan alam ini berpasang-pasangan.”

“Hmmm…”
“Hmmm lagi! Edan! Pasti soal cewe!”
“Ngapain sih setiap “Hmmm”-ku kau hubungkan sama cewe. Mungkin saja saya sakit tenggorokan!”
“Ya apapunlah… apa hal positifnya?”
“Belanja. Cuci mata. Mau apalagi?”
“Cuman itu?”
“Cuman!”
“Sedikit sekali.”
“Ya cuman itu. Tak ada hal lain yang menarik. Ya…yang datang memang menarik juga sih. Tubuh tinggi semampai mirip lagunya Dewa 19. Pernah saya berada di mal.

Paling lama sepanjang hidupku. Hingga mal-nya udah tutup, saya masih di sana! Memang ada satu alasan yang menahanku ada di sana. Memang tak semampai seperti lagu Dewa 19 tadi. Tapi matanya menarik. Menggaris. Melengkung menghias muka. Kalo tertawa menyenangkan. Cantik sekali. Dapat kulihat kilauan matanya yang cantik mengintip dibalik kelopaknya. Taukan, apapun bisa dilihat pada mata. Hati-hati memandang mata seseorang. Apalagi lawan jenismu. Seperti Medusa saja. Kau akan membatu. Sulit bergerak. Tak tau kau akan berbuat apa. Tak tau apa yang akan kau katakan. Bisu. Kau jadi batu. Apalagi bagi saya yang pendiam ini. Baru sekali-kalinya ketemu lagi. Mau berbuat apa saya dalam mata seperti itu, coba? Pandangannya seperti ribuan panah cupid menyerang. Jika tak siap menangkis akan jatuh kau dalam sudut kerlingnya sekalipun. Seperti itu lho… lagu lama yang dinyanyikan White Shoes and the Couple Company. Apa yang harus kulakukan? Tak tau saya cara memperlakukan wanita. Kan sudah saya bilang kan tadi.

Ibuku pernah bilang, saat kami berjalan menuju pasar Sambilegi; Nak kalo berjalan bersama wanita, kau harus yang paling dekat dengan jalan. Kau laki-laki. Tunjukkan bahwa mampu melindunginya, walau hanya dalam hal kecil seperti ini. Entah itu dengan wanita manapun. Pacarmu. Istrimu. Atau teman perempuanmu. Tapi masih saja saya bingung. Tau kan keadaanku kalo kelamaan di mal? Tak bisa berpikir jernih. Kalang kabut otakku. Rasanya sudah siap otakku meloncat dari kepalaku. Pulang sendiri. Meninggalkan kepalaku sendiri terbengong-bengong mirip orang bego di mal. Di mal semuanya adalah jalan. Sepertinya semua aman kan? Kecuali jika ada supir pesawat Boeing 737 lagi ngantuk dan kendaraannya kesasar masuk mal itu bisa dikatakan keadaan luar biasa berbahaya sedang terjadi!

“Sebegitunya kau sama mal. Lalu kenapa tak kau ajak aja dia ke café? Sambil menikmati musik jazz atau musik-musik easy listening lainnya. Sembari main scrabble kayak di Jazzcoffee kan asik. Atau sambil baca buku seperti di Deket Rumah Café sembari ngobrol di temani es coklat dan camilan. Atau di Kedai Kopi, kalau kau bawa laptop kau bisa internetan gratis di sana!”

“Yah ini manusia! Gak tau apa? Saya gak tau café di Jakarta seperti apa. Itu di Jogja! Saya dengan mudah menemukannya. Mau apa? Sambil nonton film gratis, tinggal ke Kinoki Café. Atao yang sambil liat leleran lahar merapi dengan ditemani musik keroncong tinggal naik ke Kedai Poci di Kaliurang! Asal jangan ke Hugo’s Café aja! Sama saja bunuh diri! Lebih palsu lagi manusia di sana!”
“Lhah terus?”
“Yah… kau bisa tebaklah! Tak banyak bicara saya di sana. Tak seperti di sms. Beda komunikasi lewat tulisan dengan lisan langsung. Di sms ada waktu untuk berpikir. Menyusun kata. Jika tak dibalas. Maka ribuan duga sangka akan muncul. Jadi setelah pertemuan itu, wajar jika dia berpendapat apapun. Berapresiasi apapun tentang saya. Bahkan pendapat paling negatif sekalipun. Sa

ya rasa saya harus menhormati apapun pendapatnya. Pendapat tak ada yang salah bro! Pikiran manusia akan menyimpulkan dengan sendirinya. Kerangka pengalaman dan kerangka berpikirnya akan saling berkompromi menghasilkan kesimpulan. Mungkin juga saya memang bersalah. Taukan otak saya sudah jalan pulang lebih duluan di mal itu? Jadi seperti lupa ingatan saya. Apa saja yang kulakukan selama di mal itu? Adakah saya kelupaan sesuatu? Mungkin saja? Ah… bodohnya! Masih banyak yang harus saya pelajari tentang dunia venus ini.
“Wah… menarik. Tapi saya kira tak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada hanya orang yang belum tahu. Makanya saya setuju. Kau memang harus belajar. Bertemu banyak orang akan membantumu.”
“Moga-moga aja. Apa memang perlu saya jadi Tao Ming Tse tadi?
"Yak ampunnnn!!! Tao Ming Tse lagi! Jika ketemu ibunya Tao Ming Tse akan kusuruh dia memasukkannya kembali ke dalam rahimnya. Cukup begini saja. Cukup kau jadi Timbulsukoco! Tak perlu jadi orang lain. Hanya saja, ijinkan orang lain melihat dirimu lebih dalam lagi. Biarkan orang mengenalmu. Setelah mengenalmu, ternyata nyaman kok ngobrol denganmu. Banyak hal bagiku yang bisa kudapatkan.”

“Halah…!”
“Tapi bisa juga kau bercerita. Si Timbulsukoco yang katanya pendiam ini! Melankolik. Dengan gayamu sendiri. Tapi kau bicara dengan banyak alasan. Alasan beda budayalah. Kependiamanlah. Otakmu yang bisa lari-lari pulang ke kosamulah…
“Bukan lari… otakku naik taksi sendirian!”
“… ah, apapun itulah! Banyak alasan saja kau ini bercerita. Intinya kau tak bisa menghadapi perempuan, titik! Itu kan?! Tak peduli apa yang terjadi padamu, itu adalah masalahmu. Hadapi dia. Alasan-alasan hanya akan memperlihatkan bahwa dirimu lemah. Berlindung di balik alasan. Bukan sifat seorang ksatria. Egois! Jika kau merasa salah, minta maaf saja. Masalah jawabannya iya atau tidak, itu urusan dia. Ingat kesempatan tak datang dua kali!”

“Ah… saya tak percaya. Kesempatan tidak datang sekali. Dia datang berkali-kali. Hanya saja kita harus memilih yang terbaik dari banyak kesempatan itu. Hingga seakan-akan dia datang hanya sekali.”

—o0o—

Uh… obrolan tentang jatidiri. Jadi kaca dia bagi diri Timbulsukoco ini. Kota ini memberikan banyak pengalaman. Makin tahu saja ia tentang dirinya sendiri. Walaupun belum semuanya. Paling tidak sedikit demi sedikit banyak pertanyaan, yang terpancang tiap waktunya di kepalanya, satu per satu mulai menemukan jawabannya. Hidup memang seperti petak-petak puzzle. Banyak teka-teki. Kadang jawaban dulu yang muncul. Baru pertanyaan menyusul. Memang aneh sepertinya. Namun keping-keping hidup yang dilewati sedikit demi sedikit akan segera tersusun.


Manusia. Selalu tak akan pernah puas. Itukan kelebihan yang di berikan Tuhan pada ciptaannya yang paling sempurna ini. Berpikir! Diberi-Nya kita segumpal lemak di kepala untuk melakukan itu. Sayangnya, itu masih jadi pekerjaan yang terlalu berat. Berpikir. Hingga tak banyak orang yang mau melakukannya. Berpikir. Maka akan banyak pertanyaan yang muncul di sana. Kenapa kita ada di sini? Ke mana kita? Apa yang akan kita lsayakan? Siapa itu Tuhan?


Selalu ada jawaban dari begitu banyaknya pertanyaan itu. Hanya saja jawaban-jawabannya kadang terlalu lama. Dan kita dirundung putus asa dan menyimpulkannya sendiri. Tak salah. Memang tak ada salahnya. Memang manusia selalu tidak sabar. Selalu tak puas tadi. Pikirannya sendiri pun bisa meracuni dirinya. Dan akhirnya putus asa juga. Huh… putus asa! Hanya milik orang-orang yang kalah. Kalah sekalah-kalahnya! Hanya orang konyol yang mengakhiri keputusasaan dengan bunuh diri. Perbuatan paling konyol. Dikutuk sama Tuhan! Memang tak pantas orang seperti itu hidup. Hanya jadi kotoran dunia. Sudah kalah sebelum berperang. Tzun Tzu pun akan berang bukan kepalang jika bertemu orang seperti itu.


Jakarta. Di Jakarta ini. Tentunya banyak keputusasaan. Banyak cita-cita terkumpul di sini. Maka banyak juga yang tak tercapai. Yang tak kuat akan putus asa. Menyesali nasib. Terlambat. Salah sendiri, kenapa mau manjadi peserta dalam kompetisi besar di Jakarta ini?! Dalam kompetisi selalu ada yang menang dan kalah. Itu sudah pasti. Hal terburuk harus mendapatkan jalan keluarnya. Siap kalah. Siap pula menang. Itu resiko. Selalu ada resiko dalam banyak hal. Jika dilakukankan secara benar. Kompetisi bukan halangan besar. Itu Sesuatu yang menarik untuk dilewati. Mengenalkan pada banyak hal. Harus disikapi dengan pikiran terbuka dan dewasa.


Sudah saya bilang, di Jakarta orangnya lucu-lucu. Panggung Srimulat besar dengan ikon tugu monas. Kata temanku, yang orang Jakarta juga, orang-orang Jakarta sama semua. Apalagi yang muda. Hidupnya seperti bebek. Ekor mengekor hingga panjang. Satu mode lagi naik, maka di ujung yang lain akan segera mengikuti. Itu bukan kata Timbulsukoco lhoh! Kata temen Timbulsukoco sendiri yang orang Jakarta. Jadi inget dia sama bebek-bebek tetangganya yang tiap sore lewat di depan rumanya. Berjalan beriringan. Mencericau tiada henti. Tak jelas apa yang diomongkan. Sudah hapal bebek-bebek itu dengan jalan yang akan dilaluinya. Si tukang angon malah berjalan di belakangnya.sambil makan ubi rebus dari dapurnya. Wek… wek… wek… berjalan megal-megol. Tubuh ramping. Amboiii…. Betapa centilnya!

—o0o—

Aih… masih saja Timbulsukoco di sini. Jakarta. Tempat banyak ego juga terkumpul di sini. Merantau si Timbulsukoco ini di sini. Dia akan jadi perantau. Kata seorang temannya ketika membaca garis tangannya. Walaupun dia selalu ingin pulang dan tetap di Jogja, namun rejekinya bukan di Jogja. Timbulsukoco harus keluar, kata temannya itu. Tetap jadi perantau. Ke banyak tempat. Traveler. Memang sejak kecil dia tak pernah selalu ada di tempat. Terutama jika liburan. Baru Jawa, Bali dan Sumatra saja tempat di dunia ini yang sudah diinjak Timbulsukoco. Masih banyak belahan bumi ini yang sayang jika tak dirasakanya sendiri.


Jakarta. Tempat terlama di luar Jogja, yang dia tinggali. Sudah hampir setahun. Terlalu lama, bagi Timbulsukoco, untuk meninggalkan Jogja. Tapi inilah mungkin garis hidupnya. Paling tidak menurut garis tangan yang pernah dibacakan temannya. Uh… kota yang lucu. Kenapa harus tertekan? Kenapa harus frustrasi? Bukankah Jakarta adalah bagian dari Jogja? Lihat saja tulisan “Jogjakarta”! lihat kan! Terlihat jelas. Jakarta bagian dari Jogja. Jog-Jakarta. Betapa lucunya. Kota ini lucu juga jika dipikirkan. Sangat bertolak belakang dengan kotanya sendiri. Hanya untuk main sepakbola saja susah. Harus menyewa. Dihitung detik per detiknya. Tak boleh lebih, jangan kurang. Kasihan. Di Tempat Timbul, masih tersedia banyak lapangan. Bekas sawah. Bermain di sana, ditemani kambing, sapi, ayam, bebek dan lintah-lintah. Sebuah parodi tentang gaya hidup. Sebuah Joke Jakarta.


Loteng Kos-kosan
4 Agustus 2007


Wednesday, May 09, 2007

Nostalgia

Aku jik kelingan pas bayi, rung iso ngomong, aku duwe dolanan sing digandhulke neng ndhuwurku. Iso mubeng-mubeng, warnane biru. Aku kelingane pas bulikku arep ngurupne dolanan kui, rekane arepe ndholani aku, ning bulikku raiso le ngurupne. Wis mik kui thok! Lha jik cilik. Lha wong ulangtaunku sing ping pisan ae aku ra eling. Retine seko foto. Cilikanku jare nakal banget. Mbuh nakal ngopo, wong aku dewe lali.





TK
Wedi aku sekolah. Aku mik neng mburine simbahku po bulikku ae. Mbuh kenopo. Opo kui nok kampunge mbahku. O iyo, mbahku dalemme malah neng kutho. Aku dewe neng ndeso. Kuwalik ra! Akhire aku pindah nok TK cedak omahku. Neng kono aku mangkat po mulih sekolah ro konco-konco desoku. Mik wong loro mlaku thimik-thimik tekan sekolahan. Aku rat au nggowo sangu panganan pas TK, padhal kabeh koncoku do nggowo nganggo wadah sing apik-apik. Dadi pas istirahat aku pingin banget! Hihihi….

SD
Kelas loro SD aku meh mben dino di setrap nok ngarep kelas. Mergane ratau nggarap PR! Mbendino kui! Edian ra?! Opo meneh PR matematika. Wah jan wes mesti ra tak garap. Gurune wedhok. Ayu tur judes. Galak banget. Opo mergo aku ratau nggarap PR yo? Saking galake aku nganti lali jenenge! (hubungane ki opo?!)
Nganti wong tuwoku diundang ro guruku kui ping bola-bali. Wes ngono yo tetep rat au nggarap PR meneh. Karang yo ngglidhik! La yen ono PR ki raiso dolan wengi jhe. Dhelikan po dolanan sepaksekong bengi-bengi ki rame!

O hooh… SD neng Adisucipto 3. Saiki jenenge wis ganti dadi SD Angkasa. SD ku mlebu komplek AURI. Dadi aku wes ra gumun meneh ro sing jenenge pesawat! Ndhisik kerep banget dolan neng musium pesawat neng AURI. Ra tau mbayar… mlebune ndhelik-ndhelik! Aku west au numpak pesawat opo ae. Helikopter perang uwis. Pesawat cilik uwis. Jet uwis. Opo ae! Malah aku sing nyupiri! Ning yo kui… raiso mabur! Karang yon eng njero musium jhe. Saiki pesawat sing neng musium do dikunci. Dadi wis raiso mlebu neng kokpit meneh!

Aku kerep adus kali. Uripku neng ndeso. Pas aku cilik raono kui Playstation (PS) lha wong TV ae onone mik TVRI. Kui ae mulaine jam setengah papat sore. Aku sih kelingan jam setengah papat sore mesti do malit neng ngarep TV nonton kartun Kura-kura Ninja, Tantangan Gobot, Flinstone lan sak piturute. Ning dolananku akeh. Malah akeh sing nggawe dewe. Pesawat nggawe dewe. Iso mabur meneh. Mobil-mobilan yo gawe dewe. Iso ditumpaki meneh. Pokoke opo-opo gawe dewe. Luwih kreatiflah cah-cah kui! Malah okeh permainan sing medeni neng pinggir perengan. Aku dewe yen ngeling-eling malah wedi dewe. Kok yo wani ngono lho aku ndhisik! Padhal dhuwur biangeti!
Bar adus kal mesti diseneni ro bapak. Soale kaline kerep reget.

Pas SD kerep dolan neng komplek. Koncoku okeh sing anake pilot. Neng komplek podo nggolek jambu, pelem, rambutan opo woh-wohan liyone. Sok yo nembung bener. Ning sok-sok o nyolong! Karang jik cilik. Yen ray o dolan neng sawah po adus kali kui mau. Nggolek ceplukan trus dipangan bareng cah-cah. Rameee banget! Pokoke nyenengke. During mbedholi kacang tonggone po mbedhol telo trus dibakar neng pinggir kali.

SMP
Ngepit aku mben dino. Trus kelas telu agi numpak bis. Lha kancane ngepit wis mulai entek. Saiki sekolahku rodo kutho. Neng SMP Muhammdiyah Kolombo. Edian! Malah neng Kolombo! Luar negeri! Lha hooh luar negeri… karang SMP-ku swasta! Lha kolombo kui?
Kolombo kui neng Gejayan. neng kono ono daerah jenenge Kolombo… Reti rak?!
Nenh SMP aku yo raseneng matematika. Guru matematika kok mesti galak-galak yo? Soale angel-angel! Ngitung kabeh! Lha iyo… karang jenenge yo matematika! Yen jahit menjahit kui nggawe klambi!

SMA
Pas iki nyenengke banget. Kok yo mik telung taun yo jaman SMA ki! Yen pitung taun mesti do podo gelem kok cah-cah! Penak pas SMA. Edan bareng. Ngguyu bareng. Koyone pas SMA ki ratau sedih. Yen loro raiso mlebu ki koyone rugi banget ra ketemu cah-cah. Yen prei dhowo ki yo koyone ra penak. Mending mlebu nggarapi gurune po kancane malah seneng.
Jaman iki sing aku mulai reti sopo tho aku iki. Jaman iki okeh mempengaruhi dadi awakku sing saiki koyo ngeneki.
Wah… yen tak critakne mesti duuoooooowwwuuooooooo….. biangeti! Okeh senenge. Mending suk ae yen ketemu ya!

KULIAH
Pas mlebu pertama sempat frustrasi! Stress! Soale seko jaman SMA sing edan-edanan, ketemu roc ah UGM sing podo serius! Ning kui lagi pandangan pertama lho! Mbareng rodho suwe jebhul yo malah podo ediane!! ASEMIK!
Crito jaman kuliah wis tak critake neng ngisor kae, sing judule “Passivist”.

SAIKI
Saiki kuthoku wes bedho. Akeh sing mbangun. Okeh moll! Wes nggantheng! Mik saiki malah podho Jakarta! Sawah sing ndhisik kerep tak dolani saiki wis dadi hotel sing jembar! Mburi omahku sing ndhisik yo sawah jare yo arep dadi perumahan. Maioboro macet. Malah kabeh dalan sing neng ngarep moll saiki podo macet. Wes arang wong sing nongkrong neng ankringan. Omahku sing ndhisik neng ndeso saiki wes neng tengah kutho! Mugo-mugo Jogja ra lali karo awake dhewe. Mugo-mugo Jogja ra dadi koyo Jakarta, mboseni!

Ning aku seneng karo uripku.
Yen dilahirke meneh, aku tetep pingin dadi aku. Sing pingin tetep pingin bali neng Jogja!

Monday, May 07, 2007

(Hati-hati) Nonton Spiderman (di Mal)

Mal. Tak mesti harus berbelanja sekarang jika datang ke sana. Sekedar nongkrong atau melihat benda-benda yang dipajang sambil sedikit berkhayal-khayal, imajinasi melayang kemana-mana membayangkan sesuatu. Katanya lebih nyaman, berbelanja di satu tempat tanpa takut kehujanan atau kepanasan. Hanya saja suka lupa waktu, karena jarang ada toko yang memasang jam di sana. Lupa waktu. Lupa pulang. Lupa kalo sudah saatnya mal tutup! Karena gak liat matahari!
Saya sendiri ternyata nggak terlalu kerasan berada, apalagi berlama-lama, di mal. Sudah saya coba berkali-kali. Paling lama cuma sejam. Itupun jarang. Jika saya pernah lebih dari itu, pasti karena ada sesuatu yang membuat saya melebihi waktu sejam itu. Jika kelamaan memang pikiran saya jadi gak normal (... emang tiap harinya gak normal!). Maksudnya gini lho.... apa ya?... susah ngetiknya.... Sudah tak bisa berpikir jernih... Saya ini di negeri mana? Apa wanita cantik yang sejak tadi jalan sama aku di mal ini beneran ato bukan?!
Ato jangan-jangan wanita cantik ini yang bikin pikiranku kalang kabut?! Jantung seakan mau keluar dari tempatnya.... (Ini mau ngomongin Spiderman ato apa tho?!!)
Gak papa... memang beginilah kalo di mal, segalanya gak jelas. Pembicaraan sering menjalar kemana-mana. Mirip di mal!

Maksudnya mau nonton sih di mal. Nonton Spiderman. Ya... nonton sih gak tujuan utama. Tujuan utamanya ada, tapi tiba-tiba aja ilang. Karena ya itu tadi; di mal, segalanya gak jelas. Pembicaraan sering menjalar kemana-mana. Mirip di mal!

Spiderman. Sejak kecil inilah superhero yang saya sukai. Saya lebih suka Spiderman dari pada Superman atau Batman, apalagi Gundala Putra Petir! (Yang terakhir adalah tokoh lokal yang mencoba jadi global!). Spiderman bagi saya lebih manusiawi daripada superhero lainnya. Hidupnya penuh pilihan. Musuh yang dianggap musuh pun punya latar belakang manusiawi tentang keter-pepetan manusia dalam menjalani hidup. Hingga kadang harus memilih apakah membinasakan atau memaafkannya. Di bioskop sekarang ini Spiderman sudah sampai di sekuel yang ke tiga. Ada hal menarik dari tiga seri ini;

Yang paling segar dalam ingatan mungkin Spiderman 3. Adalah adegan saat Spiderman akan menyelamatkan Mary Jane Watson dari Taksi yang terjebak dalam jaring laba-laba hitam Venom diantara gedung. Sebuah shot yang hanya sedetik! Saat Spiderman berlari dan di belakangnya adalah bendera Amerika yang berkibar lalu Spiderman meloncat mengeluarkan Spiderweb dari tangannya dan berayun! Masyarakat Amerika pun bersorak menyambut kedatangannya. Jika kalian jeli. Dalam film Spiderman 1, 2 dan 3 pasti ada shot kecil itu. Entah itu benderanya penuh, sepertinya atau sedikit tiangnya saja. Tak hanya di Spiderman, banyak superhero amerika yang menyisipkan sedikit gambar ini ke dalam ceritanya.

Seorang teman saya pernah menjelaskan dalam suatu forum; Kenapa Superhero Amerika banyak yang memakai baju berwarna merah dan biru? Waktu itu dia sampai bikin makalah yang masih saja saya ingat berjudul "Kenapa Superman Berkostum Merah Biru?". Katanya sih merah dan biru adalah warna dominan dari bendera Amerika. Dia menjelaskan secara semiotik, mengurai segala macam tanda yang menempel dalam superhero amerika. Waktu itu saya masih bingung, apalagi itu semiotik! maklum, saat dia ngomong, saya belum mengambil matakuliah semiotika (Semiotik/semiologi/semiotika; ilmu tentang tanda). Bahkan dia menceritakan kisah para superhero itu sampai perak Irak! Memang di mal, segalanya gak jelas. Pembicaraan sering menjalar kemana-mana. Mirip di mal!

Tentang shot itu kalian bisa melihat dan mendefinisikannya sendirilah. Saya tak mau menjebak pikiran kalian ke kalimat yang saya bikin sendiri. Sedikit apresiasi akan membuat kalian mengetahui pesan tersembunyi dari sebuah tontonan.
Sebuah shot kecil. Shot yang hanya sedetik. Shot penuh makna. Shot berbahaya! Bahkan kalian tak akan menyadarinya telah menerima pesan tersembunyi itu.
Itulah hiburan. Apalagi film. Segalanya begitu nyata sepertinya. Apalagi kamampuan visualnya yang memukau. Ditambah suara digital surround yang membuat seakan kita berada di dalamnya.









Untuk Sebuah Cincin

INT. Rumah: Ruang Keluarga. Malam.

Jam 11 malam. Sebuah ruang keluarga dari sebuah rumah yang agak besar dengan bentuk yang sederhana, dan cahaya kuning yang remang-remang. Di dinding ada beberapa foto-foto keluarga tua dengan bermacam bentuk dan ukuran bingkai yang bagus. Di meja-meja yang ada di ruangan itu terpajang pigura foto yang lebih kecil, dari foto tua hitam-putih sampai foto baru berwarna.. Foto bayi, orang tua, pemuda-pemudi, orang yang dengan pakaian wisuda.

Suasana rumah itu tampak begitu sepi. Hanya suara lirih televisi yang menyala. Interiornya tertata dengan rapi. Sepertinya semua benda di situ sudah tepat pada tempatnya, walaupun beberapa nampak sudah usang dimakan usia tapi tak mengurangi suasana nyaman dalam ruang itu.

Sebuah televisi 14 inc menyala di sana. Sedikit suasana modern. Sepasang orang tua yang sudah putih rambutnya duduk bersanding di sofa tua sambil menikmati kenyamanan, jas dan gaun yang dipakainya tampak sudah tak rapi lagi karena capek. Tampak mesra dan romantis dengan cahaya remang-remang itu. Nenek menyandarkan kepalanya di dada Kakek yang memeluknya dengan hangat sambil menimang pigura kecil foto putrinya.


NENEK

Pesta tadi sangat meriah


KAKEK

Heh… hemmm… Satu lagi Anak kita, pergi meninggalkan kita.


NENEK

(Melihat ke muka kakek, lalu kembali bersandar di dadanya)

Yah…. sepertinya baru kemaren bu Bidan datang mengeluarkan dia dari rahimku. Heh…he… putri kecilku yang cantik!


KAKEK

Hmmm…. dia memang cantik, hingga banyak pemuda datang mengantri untuk menikahinya. Waktu itu sepertinya akan kubuka loket pendaftaran saja!


NENEK

Ohh… Kek. Kamu masih saja bisa bercanda.


KAKEK

Hmmm… Yah…

(Sambil mengambil foto kecil putrinya dari meja di sebelahnya. Wajahnya tampak sedih)

Dia terlalu pemilih, hingga ia cukup tua untuk menikah. Semoga suaminya akan menjaganya dengan baik.


NENEK

Waktu kecil dia selalu duduk di antara kita jika nonton televisi.


KAKEK

Ya… dia sangat manja. Adi duduk di bawah dengan bantalnya, ia selalu saja berebut bantal dengan Sisi adiknya. Dan Sisi selalu saja menngganggu Putri.


NENEK

Dan Donni selalu saja pulang larut malam. Kau selalu saja memarahinya !


KAKEK

Heh… dia memang anak paling bandel dan tidak penurut. Tak kusangka dia jadi orang sukses sekarang.

Sejak kecil kita merawatnya. Menyayanginya. Membuat kita tertawa. Sudah besar mereka berani berkata-kata buruk pada kita. Dan sekarang di bawa orang. He… he… he… !


NENEK

(Memandang Kakek yang sedang menerawang sambil tersenyum)

Kini mereka sudah tak bersama kita lagi.

Tahukah kau? Kita seperti muda kembali. Aku bersandar padamu dan kamu memelukku. Rasanya itu sudah lama sekali ya Kek!


KAKEK

Kalau jadi muda kembali, kenapa kau memanggilku “Kek”?

Yah… heheh… aku juga merasakannya.

(sambil mempererat pelukannya)

Kita jadi anak muda yang tua. Anak muda dengan rambut yang putih dan kulit yang lumer. Heh…he….


NENEK

(Terkekeh-kekeh)

Gigimu juga masih saja kelihatan muda. Seperti mutiara saja.

Heh…he… Kau sering mengintipku. Sewaktu belum pacaran. Kau ini memang jahil!


KAKEK

Ya…. Tapi aku juga tahu kau sering mergokiku hingga satu sepatumu kecemplung diselokan. Itulah saat pertama aku bicara padamu.


NENEK

He…. Masa muda yang indah. Lihat cicin perkawinan kita ini.

(Sambil menunjukkan jari tangannya, dimana melingkar cicin)

Andai saja kau memenuhi janjimu membelikanku cincin mutiara waktu itu. Ini akan jadi cincin teridah di dunia!


KAKEK

(Wajahnya tiba-tiba berubah)

Jadi sekarang ini adalah cincin terjelek di dunia!


NENEK

(Mengangkat kepalanya dari dada Kakek)

Hei… kenapa kau tiba-tiba marah? Baiklah aku tak akan mengungkit janjimu dulu itu. Aku sudah menerimanya.


KAKEK

(Melepaskan pelukannya)

Tapi kau masih memikirkannya!


Keduanya bertengkar meributkan persoalan masa muda mereka. Foto-foto di meja dan dinding tetap diam seperti tak menggubris pertengkaran itu. Masih pada pose-pose sebelumnya. Tertawa. Tersenyum. Berangkulan. Bertingkah konyol. Sangat indah kejadian-kejadian di foto itu. Sebuah nostalgia lewat kertas yang mengharukan.


Dalam cahaya remang-remang itu, televisi masih menyala dengan volume kecil. Rumah itu masih terasa nyaman walaupun ada pertengkaran kecil di situ.


NENEK

Sudah! Lupakan saja mutiara itu. Lagian aku juga sudah cukup tua untuk memakainya. Jika punya pun, itu tak akan membuatku jadi muda kembali!


KAKEK

Bukan itu masalahnya….


NENEK

Bukan itu?! Oh kau masih saja tidak mengerti aku!


KAKEK

Oh…. Selalu saja begitu! Ternyata kamu masih seperti dulu. Perempuan selalu misterius !

Sepertinya kau adalah evolusi dari mahluk buas jaman dinosaurus !


NENEK

Apa ? ! ……

Huh… ! aku tak mau bicara denganmu !

Kau sendiri seperti mahluk berbulu berbibir monyong !


Nenek bangkit dari duduknya, lalu berjalan cepat dengan berkacak pinggang meninggalkan Kakek yang masih terduduk. Dia sepertinya merenung sebentar.


KAKEK

Ehm… ! Nek ! … Pertengkaran ini akan jadi besar. Ayolah ! Kita sudah tua !


Nenek masih meneruskan langkahnya menuju kamar tidurnya, tidak mendengarkan ucapan Kakek. Kata terakhir yang diucapkan Nenek malam itu… :


NENEK

Aku juga tak mau tidur sekasur denganmu malam ini !


Lalu Nenek membanting pintu dengan kerasnya membuat Kakek yang masih terduduk itu tersentak kaget.


Kakek masih termangu di sofa. Pandangannya ke arah pintu kamar tidur adalah pandangan yang kosong. Pikirannya berkelana kemana-mana. Untuk sesaat ia merasa kacau. Ia tersadar dari lamunannya karena acara televisi yang tiba-tiba saja mengagetkannya. Pandangannya sebentar beralih ke arah televisi yang baru saja mengagetkannya. Tapi pikirannya masih kacau.

Ia beranjak dari sofa. Menaruh foto anaknya kembali lalu mematikan televisi. Dengan langkah lunglai ia berjalan ke arah pintu kamar tidur. Dia akan mengetuk pintu itu dan berharap Nenek akan membukakannya dan menyuruhnya segera tidur. Tangannya sudah siap mengetuk pintu. Tapi ia masih ragu. Ia tahu sifat istrinya itu, kemarahan mungkin masih menyelimuti istrinya itu. Mengetuk pintu bisa jadi akan memperpanjang masalah. Karena orang marah pikirannya menjadi tidak rasional. Sama seperti orang yang jatuh cinta!

Ia menarik kembali tangannya, mengelusnya, lalu menciumnya. Dengan langkah gontai ia menuju kamar yang lain. Kamar anaknya yang baru saja diambil orang. Membangun satu keluarga kecil di luar sana. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam.


INT. Rumah: Kamar Tidur. Malam

Sebuah ruangan yang tak terlalu besar dan tak terlalu kecil tertata rapi. Hanya saja di kamar ini nampak lebih modern dengan beberapa poster besar tentang seni tepajang di dinding. Cahaya disitu juga kuning remang-remang. Beberapa foto ada di dinding dan di meja belajar, juga ada di meja di samping kasur kiri dan kanan bersanding dengan lampu duduk berwarna kuning emas.

Sebuah tempat tidur yang empuk dengan bantal menggembung dan selimut tebal yang hangat di disitu. Kakek menarik selimut lalu merebahkan diri dan membenamkan kepalanya di atas bantal dengan hati-hati. Tubuhnya miring ke kanan. Matanya menatap bingkai foto duduk yang mungil di mana anak perempuannya yang sudah tak mendiami kamar ini terpampang di sana. Perempuan manis berambut pendek lurus yang tengah tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang putih.

Kakek tersenyum melihat foto anaknya itu. Untuk beberapa saat ia memandangi foto itu tanpa bergerak dan berkedip. Hanya senyumnya yang sedikit demi sedikit mulai luntur.

Kakek membenarkan letak selimutnya dan berbalik, mencoba menghilangkan pikiran tentang anaknya. Ia beringsut-ingsut membalikkan badannya. Matanya kembali tertambat pada foto kecil yang lain di meja sebelah kiri. Anaknya bersama lelaki yang kini menjadi suaminya, yang telah membawa pergi putri terakhirnya. Keduanya tersenyum lebar, seakan mengejek Kakek yang baru saja bertengkar dengan Nenek. Wajah Kakek menjadi kecut. Lalu foto itu ditelungkupkan, hingga ia tak dapat melihat lagi.

Pelan-pelan Kakek tertidur dibuai mimpi-mimpi malam.


INT. Rumah : Ruang makan, pagi.

Sinar matahari masuk lewat gordin jendela yang belum dibuka. Bersebalahan dengan ruang keluarga itu adalah ruang makan, di mana dapur juga dapat dilihat dari jendela kecil di sudut ruangan. Kamar Nenek juga dapat dapat terlihat dari situ.

Kakek duduk di salah satu kursi meja makan. Tak ada makan pagi ini di meja itu, hanya beberapa butir jeruk dan pisang Ambon. Sambil termangu-mangu Kakek memandangi penutup makanan berwarna merah yang terbuat dari plastik. Di dalamnya tak ada apa-apa.

Sesaat Kakek memandang ke arah pintu kamar Nenek. Berharap akan ada yang menyiapkan makan pagi. Hari ini sangat lain. Hawa negatif sepertinya menyelimuti rumah ini.

Kakek beranjak, berjalan menuju ruang tidur Nenek. Pelan-pelan ia melangkah. Ia akan mengetuk, namun diurungkan niatnya. Sekarang ia akan membuka pintu pelan-pelan. Gerendel pintu sedikit demi sedikit bergerak ke bawah. Klik! Pintu terbuka sedikit, Kakek menengok ke dalam.


NENEK

(Berteriak)

TUTUP PINTUNYA!!! Aku masih marah!


BRAK !! Kakek kaget dan dengan reflek menutup pintu dengan keras. Tangannya masih menempel di gerendel pintu. Ia tercenung. “Harusnya aku yang paling marah! Akukan yang memulainya!” mungkin begitu pikir Kakek. Namun ia mencoba menyingkirkan pikiran negatifnya. Itu hanyalah pikiran seorang egois yang akan menambah porsoalan kian rumit.


Kembali duduk di ruang makan…..

Kakek baru selesai memakan sebuah pisang Ambon. Mungkin saking laparnya ia menggigit-gigit pelan kulit pisang itu, hingga menyisakan kontur giginya yang berderet rapi. Ia memperhatikan bekas gigitannya itu.


INT. Kamar mandi.

Kakek menggosok giginya, berkumur, lalu menyeringai memeriksa giginya. Deretan gigi putih bersih masih menempel di gusi tua itu. Gigi yang sangat sehat dan kelihatan muda untuk orang setua dia. Cukup lama ia menyeringai melihat deretan gigi putihnya.

Ia memeriksa saku celana bagian belakangnya. Dirasakannya dompet masih ada di sana.


EXT. Pintu Depan Rumah.

Kakek menutup pintu rumahnya dan berjalan ke luar pagar.


EXT. Klinik Gigi.

Sebuah klinik milik seorang Dokter Gigi, di dalamnya terdapat beberapa pasien yang akan memeriksakan giginya. Cukup banyak juga orang yang sakit gigi di pagi itu. Ada anak kecil, ibu-ibu, orang tua. Tapi apakah yang datang ke klinik gigi itu pasti sakit gigi?

Di dalam ruang praktek seorang tua berteriak-teriak kesakitan.


KAKEK

AARRRRGGGHHHH!!!....AAAUUUUUFFFF……

AHHHHHHH….. Tsakhih tshekhali Dhok!!!


DOKTER

Tenang…. Tenang Kek!!


KAKEK

AAAAUUUUUUUWWWWW!!!!


Seluruh pasien yang ada di ruang tunggu hanya bisa mendengar. Mereka saling berpandangan curiga. Suster jaga yang ada juga ada di ruangan itu melihat dengan cemas.


KAKEK

AAAARRRRGGGGGHHHH!!!! …. Dhokher!! Helan-helan Hok! Hokter hewerti au hemhunuhhu! (Dokter! Pelan-pelan dok! Dokter seperti mau membunuhku!)


Para pasien yang menunggu semakin heran mendengar suara-suara dari dalam ruang praktek. Seorang anak mulai menangis. Sementara di dalam masih terdengar teriakan-teriakan menyayat. Malah kadang ada benda aluminium yang jatuh. Beberapa pasien meninggalkan ruang tunggu itu satu per satu.


Beberapa jam kemudian….

Kakek keluar dari dalam klinik gigi sambil memegangi mulutnya. Giginya masih sangat sakit. Ia menghampiri suster jaga dan memberikan secarik kertas dari dokter. Lalu suster mulai mengambilkan obat dan menulis jumlah uang yang harus dibayar pada nota. Sementara Kakek menimang-nimang plastik obat yang berisi sebutir gigi yang masih bersimbah darah.


Kakek pergi meninggalkan klinik dengan wajah kesakitan. Namun hatinya senang…..


Dokter Gigi keluar dari ruangannya.


DOKTER

Suster ! Saya mau istirahat sebentar !


SUSTER

Sepagi ini Dok ? Masih jam sebelas ?! Baru satu pasien Dok, sejak jam setengah tujuh tadi !


DOKTER

Ya…. Kamu juga boleh istirahat. Capek sekali Sus ! Baru kali ini aku menemui pasien seperti dia. Saya kewalahan. Giginya sangat kuat walaupun ia sudah tua. Aku heran, mengapa ia mau mencabutnya ?

Oh… sudahlah ! Suruh pasien lain kembali lagi nanti siang !


SUSTER

Tapi Dok ! Mereka sudah tidak ada lagi dari tadi !


Dokter menoleh ke ruang tunggu. Ternyata tidak ada seorang pun di sana. Padahal tadi banyak orang mengantri. Dokter itu melongo, sementara ruang prakteknya agak berantakan karena pekerjaannya tadi.


EXT. : Trotoar yang padat.

Diantara lalu lalang orang yang memenuhi trotoar itu terlihat Kakek berjalan sambil sesekali memanjangkan lehernya, mencoba memandang lebih jauh ke depan. Trotoar itu mirip sekali dengan Malioboro, penuh pedagang kaki lima membuka berbagai macam usaha.

Dilihatnya sebuah neon boks tua putih yang sudah mulai coklat karena debu jalanan. Neon boks kecil itu terpancang di langit-langit di atas trotoar dengan ejaan yang sepertinya tak menganut EYD ; ‘’Toko Mas RUKUN’’.

Kakek berjalanh lebih cepat. Melongok dan menghindari orang yang memadati trotoar.


EXT : Depan Toko Emas (Long shot)

Toko emas yang sudah tua, namun penjaga di toko itu masih muda-muda. Mungkin anaknya atau pekerja di situ. Atau memang pemiliknya baru ?

Di depan toko itu banyak pedagang kaki lima, mereka berjualan berbagai cinderamata semacam kain, patung, kalung, gelang dan sebagainya, ada juga yang menerima layanan pembuatan barang sesuai pesanan pembeli semacam pedagang cincin, lukisan, topi. Para pedagang itu saling adu kreativitas.

Kakek berdiri di depan toko emas itu. Di depannya ada seorang penjual cincin tua yang menyandarkan dagangannya di dekat pintu toko. Kakek masih mematung melihat ke dalam toko. Orang-orang berlalu lalang melewatinya sekan tak dihirukannya. Ia menoleh ke bawah, ke arah penjual cincin itu.

Ia sepertinya melakukan transaksi dengan penjual muda yang berambut agak gondrong itu sambil membungkukkan badannya. Tawar-menawar terjadi tanpa ada yang mau mengalah. Akhirnya di capai suatu kesepakatan.

Kakek memilih-milih jenis cincin yang terpajang di boks kecil milik penjual kaki lima itu. Satu pilihan sudah didapatnya. Mengambilnya, lalu menyerahkan pada penjual itu. Tak lupa ia mengeluarkan plastik dari saku bajunya dan menyerahkan pada penjual itu. Penjual keheranan melihat kantong plastic dengan sedikit noda darah yang masih basah. Kembali sebuah transaksi terjadi. Kali ini kelihatannya sang Kakek mulai kalah. Ia menunjukkan dompetnya dan ia kembali menang. Penjaul cincin mulai mengerjakan pesanannya.


Depan Toko Emas (Medium Shot)

Kakek duduk bersandar di pintu toko emas, dekat dengan penjual cincin jalanan, menunggu pesanannya. Sementara di belakangnya, di dalam toko, beberapa orang melakukan transaksi di toko itu. Sebentar Kakek menoleh ke dalamnya, melihat orang-orang dan perhiasan yang dipajang. Lalu kembali ia melamun, memikirkan kejadian semalam yang belum selesai hingga sekarang. Dalam hati ia berbicara dengan dirinya sendiri.


INT. : Di Kamar, di Dalam Rumah.

Sementara Nenek merenungi peristiwa dengan kakek. Ia mendekat ke jendela, memandang pemandangan yang ada di luar.


Walaupun terpisah jarak, sepertinya mereka sedang berdialog. Telepati? Sepertinya bukan. Mereka tak punya cukup kekuatan untuk itu. Atau mereka menerapkan “mantra-mantra” Schopenhauer? Bisa dibilang begitu. Sebuah dialog tanpa kata. Tanpa tatap muka. Hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu. Berharap suatu keajaiban terjadi mendamaikan mereka lagi.


KAKEK

Mengapa ada kejadian seperti ini?


NENEK

Mengapa aku harus ikut marah. Kita sudah terlalu tua untuk hal seperti ini! Bertengkar!


KAKEK

Aku hanya terlalu gugup menghadapi hal seperti ini. Kehilangan seorang anak lagi. Padahal itu tak ada salahnya. Dia dijaga seseorang yang dia cintai. Kemarahanku hanya untuk menyembunyikan kesedihanku. Rasanya sama gugupnya ketika aku menikah dengan Nenek!


NENEK

Kita seharusnya sudah cukup dewasa!

Mengapa laki-laki selalu memandang keluar jendela jika marah? Dia selalu menuju jendela ini bila ia merasa kecewa oleh banyak hal.


KAKEK

Mengapa perempuan selalu tak berterus terang saja? Dia selalu saja memendamnya hingga aku tak tahu dan akhirnya menebak-nebak dengan pikiran yang kadang kotor.


NENEK

Andai aku tahu pebedaan ini, tentunya tak akan terjadi hal seperti tadi malam. Dia laki-laki dan aku perempuan.


KAKEK

Harusnya aku bisa memahaminya.


NENEK

Harusnya kita saling mengisi. Itulah gunanya diciptakan aku dan kamu. Andai kita mau memahaminya, tentu kita akan dapat menerima perbedaan ini. Kita dapat menerima hitam dan putih.



KAKEK

Tapi kemarahan hanyalah salah satu emosi-emosi saja. Kadang kita harus tahu cara mengeluarkannya. Maaf Nek, sudah membuatmu kecewa!


NENEK

Maaf Kek, aku sudah memakimu!


EXT. : Depan Toko Emas.

Kakek tersadar dari lamunannya ketika bayangan seseorang yang menuju ke dalam toko melewatinya dan cukup mengagetkannya. Dilihat pekerjaan penjual itu belum selesai. Pandangannya dialihkan kembali ke dalam toko itu. Matanya tertumpu pada tangan seseorang yang memegang sebuah cicin mutiara di dalam kotak beludru mungil berwarna merah.

Tangan dengan cincin terpegang itu bergoyang-goyang. Sementara mata Kakek tak lepas memandangnya. Ia berdiri menuju ke dalam toko, lalu memandang cicin-cincin yang terpajang dalam almari kaca.


PENJAGA TOKO

Mau yang mana Pak?


Kakek masih melihat cincin tanpa menghiraukan pertanyaan penjaga toko. Lalu ia menunjuk satu cincin mutiara yang paling indah. Dan penjaga mengambilkannya. Penjaga itu mengoceh tentang kelebihan cincin itu. Namun tak dihiraukan Kakek. Kakek memandangi cincin itu dengan kagum.


KAKEK

Adakah wadah untuk cincin ini?


PENJAGA TOKO

Punya Pak! Yang merah atau yang biru?


KAKEK

Merah!


Sebuah kotak beludru merah mungil sudah di depannya. Kini Kakek memandangi kotak itu. Memeriksanya dengan kagum. Cincin itu dimasukkannya dalam kotak dan dipandanginya sampai puas, lalu dikeluarkannya lagi. Adegan itu sampai terulang hingga empat kali.


KAKEK

Berapa harga kotak ini?!


PENJAGA TOKO

???


Kakek keluar toko emas dengan tersenyum lebar. Dipandanginya terus kotak mungil itu. Menimangnya. Dan tersadar ketika penjual cincin jalanan berbicara padanya.


PENJUAL CINCIN

Pak, sudah jadi Pak!


Kakek meneluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada penjual itu. Ia cukup puas dengan hasilnya. Lalu memasukkannya ke dalam kotak itu.

Kakek melenggang di tengah keramaian trotoar jalan itu dengan puas.


EXT/INT : Depan Rumah/Dalam Rumah.

Hari sudah sore. Cahaya sore langit yang selalu indah berwarna kuning menghias alam, berpadu dengan jingga dan biru.

Kakek ragu akan memencet bel pintu rumahnya sendiri. Sementara nenek murung di ruang tengah, di atas sofa tempat mereka bermesraan.

KLING….KLONG!

Akhirnya bel berbunyi memecah kesunyian. Kakek merasa gugup di luar. Nenek kaget mendengar bunyi bel, sekilas wajahnya berubah ceria. Nenek menuju ke pintu, dilihatnya dari jendela suaminya berdiri di pintu. Kakek berdiri bertambah gugup mempersiapkan kotak kecil, sementara sudah didengar bunyi kunci pintu diputar.

Nenek membuka pintu. Kakek berdiri mematung. Mereka saling berpandangan.

Kakek lalu menyodorkan kotak kecil berwarna merah. Nenek memandangnya dengan curiga. Namun wajahnya lalu bisa tersenyum.


NENEK
Wah…! Untukku?


Kakek mengangguk. Lalu nenek membuka kotak itu.


NENEK

Ah…! Cicin yang indah. Ini mutiara?


Sebuah cincin mungil di dalam kotak. Memang hiasannya hampir mirip warnanya seperti mutiara. Namun sepertinya itu bukan mutiara. Bentuknya tidak bulat! Itu malah hampir mirip seperti……

Kakek bahagia melihat Nenek tertawa. Ia ikut tertawa memperlihatkan gigi putih rapinya yang kini tak lengkap lagi. Satu giginya sudah tidak ada.


EXT. : Rumah: Ruang Keluarga. Malam.

Duduk mereka semakin rapat. Televisi tidak dihidupkan. Foto-foto masih pada tempatnya. Hanya bertambah satu foto menantu baru mereka. Ruangan itu kelihatan semakin nyaman.


NENEK

Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku!


KAKEK

Aku adalah penjagamu. Sudah sepantasnya aku berkorban untukmu!


NENEK

Ini cincin paling indah di dunia. Hanya aku yang memlikinya di dunia ini.


KAKEK

Aku seperti muda kembali Nek!


NENEK

Ini terlalu berlebihan Kek!

Hmmm…. Maukah kau memberiku kalung mutiara ?


Kakek terkejut. Ia sudah membayangkan dokter paling kejam yang pernah ditemuinya. Harus berapa jam lagi ia duduk dikursi paling mengerikan itu.


NENEK

Itu hanya bercanda Kek!


TAMAT/SELESAI/USAI/THE END/FIN/FINE/UDAH/UWIS/RAMPUNG


Jogja, 2004

Wednesday, May 02, 2007

Cendol

Pagi-pagi buta Timbulsukoco sudah membuka warung cendolnya. Entah kenapa harus pagi-pagi? Lha wong yang dijual juga es cendol. Apa nggak pada pilek itu yang minum? Memang sih cendol bisa diminum tanpa es-nya, tapi rasanya kurang mantap! Tapi itulah Timbulsukoco. Selalu taat omongan orang tuanya. “Le, sudah pagi. Ayo bangun! Kerja! Nanti rejekinya dipatok ayam!” begitu orang tuanya dulu berpesan. Maka dibukalah warungnya pagi-pagi. Padahal ketemu ayam yang doyan cendol pun Timbulsukoco belum pernah bertemu, apalagi berwiraswasta jualan cendol menjadi kompetitor es cendol Timbulsukoco.Warung cendol Timbulsukoco biasa saja. Sebuah bakul pikulan menjadi cirri khasnya. Dipajang di bawah pohon randu yang rindang. Para penikmat cendolnya pun hanya cukup duduk di kursi-kursi kecil yang disediakannya. Namun begitu, cendolnya laku sangat keras. Hingga sering kehabisan kursi kecil. Maka tikar-tikar pun digelar di bawah pohon itu. Ramai sekali setiap harinya.

Cendol-nya adalah warisan turun-temurun dari orang tuanya. Bahkan kakek buyutnya sudah jualan cendol sejak jaman penjajahan dulu. Kakek Timbulsukoco bukanlah pejuang yang memegang bedil ikut mengusir penjajah Belanda, Jepang, Inggris, Amerika dan kroni-kroninya dari Indonesia. Dia hanya penjual cendol. Sekedar penghilang haus bagi para pejuang di masa itu. Banyak pejuang yang mampir atau memesan cendol dari kakek Timbulsukoco. Lalu dibawa sebagai bekal di medan perang. Cendol kakek Timbulsukoco memang enak. Enaaaaak sekali! Cendolnya asli dari beras putih. Kuahnya dari gula merah yang dimasak dengan ramuan-ramuan tertentu. Santannya dari kelapa pilihan. Para pejuang tergila-gila dengan cendol buatan kakek Timbulsukoco itu. Cendol-nya sangat terkenal hingga keluar daerah. Bahkan terkenal di telinga para penjajah. Banyak cara dilakukan penjajah untuk menghancurkan kios cendol kakek Timbulsukoco yang di bawah pohon randu itu. Karena penjajah menilai bahwa cendol kakek Timbulsukoco membantu pejuang, terutama dalam menghilangkan rasa haus.

Resep cendol kakek Timbulsukoco diwariskan turun-temurun. Hingga Timbulsukoco-lah generasi ke 7 dari keturunan kakeknya yang memproduksi cendol. Rasanya hampir tak berubah sejak kakeknya berjualan dulu. Cendol Timbulsukoco yang menempel dilidah menimbulkan citarasa tersendiri, seperti melayang-layang. Ditambah kuah manisnya menimbulkan sensasi yang luar biasa. Kini cendolnya sudah sangat terkenal. Baru dibuka pagi ini aja Kang Setro sudah malit. Stand by. Datang paling duluan ke warungnya Timbulsukoco. Tanpa perlu bilang apa-apa lagi, segelas cendol sudah tersedia di depan Kang Setro. Lalu Budhe Parti sama keponakannya yang cantik. Diikuti Pakdhe Yuki. Trus beberapa pengedara motor. Lalu beberapa mobil dengan seisi keluarga di dalamnya. Pokoknya langsung rame. Padahal masih pagi.
“Dik Parto, apa ndak kewalahan pembeli sebanyak ini kok yang ngelayani cuman sendirian?” Kata Budhe Parti sambil menyeruput es cendolnya penuh nikmat.
Ndak Budhe. Udah biasa. Lha wong ya tiap harinya juga begini.”
“Mending cari pembantu aja mas!” Seru Kang Setro tiba-tiba.
“Ah… nggak ah! Gini aja sudah cukup. Bisa kok saya! Dulu simbah-simbah saya bisa. Malah dulu satu tangan aja bisa bawa lima mangkok cendol…!”
“Haha… kayak warung nasi Padang aja!” Timpal Lik Towir tiba-tiba.
“Iya Mbul, kalo ada tambahan pelayan kan jadi tambah enteng kerjaannya. Banyak lho Mbul ini pembelinya. Itu yang di sana itu. Yang nunggu di bawah pohon manggis itu udah setengah jam lho nunggu. Trus itu yang pake mobil itu, anaknya udah nangis-nangis dari tadi, sampe dia capek sendiri! Kalo saya sih udah dapet cendol dari tadi. Lha wong malit jhe! Tak seruput dikit-dikit biar gak cepet habis. Lha wuenak jhe!” kata Kang Setro.
“Hoooalaaahhh!” keluh Timbulsukoco.
“Dulu sih pernah saya punya. Tapi malah bikin repot! Nggak cak… cek… malah udah berapa mangkok itu yang pecah. Ya… tak berhentiin!”
“Wah cari karyawannya yang bagus donk! Yang berpendidikan! Berdedikasi terhadap dunia per-cendolan! Kalo perlu yang sarjana!” Bu Dharmi juga akhirnya ikut bicara.
Halah… lha wong ini juga cuman jualan cendol aja lho buu… bu! Masa cari sarjana. Memang ada universitas jurusan cendol apa?” Kang Towir mengejek.
“Lho di jaman serba maju inikan gak ada salahnya sarjana jualan cendol. Kerjaan itu susah mas. Ato jadi tukang sapu aja kayak mas Towir ini?” Bu Dharmi tak mau kalah.
“Biar nyapu asal halal… hehehe…!” Jawab Kang Towir. “Gini-gini juga saya sudah punya perusahaan penyapu. Sapu saya sudah lima! Karyawan saya ada 3! Siip tho?!”
“Haissyah!”

Timbulsukoco tergopoh-gopoh membawa senampan penuh mangkok cendol. Dengan cekatan dia membagi-bagikan kepada pelanggannya lalu kembali lagi ke tempat duduknya, meracik cendol, santan dan cairan gula merah dalam mangkok-mangkok cendol.
“Tuh kan capek!”
“Udah biasa!”
“Ntar kecapean gak bisa bikin cendol lho.”
“Tenang aja, jamu pegel linu memang tok cer!”

Sudah puluhan tahun perusahaan keluarga berupa cendol ini menghidupi keluarga Timbulsukoco. Walaupun terkenal sampai kemana-mana namun warung cendol Timbulsukoco ya cuman satu-satunya itu. Dekat dengan rumahnya yang juga warisan dari kakeknya. Rumahnya juga biasa saja. Tak ada istimewanya bagi seorang pedagang cendol yang larisnya bukan main. Tiap hari dia hanya jalan kaki untuk ke “kantornya”. Tak lebih dari 100 meter dari rumahnya kok.Saran-saran seperti yang dilontarkan pelanggan-pelanggan setianya itu sudah tak mempan lagi di telinganya. Karena itu semua sudah dicobanya. Dia pernah punya pelayan yang otaknya segedhe kacang mede sampai yang pintarnya mengalahkan Albert Einstein.
“Kalo nyari karyawan diiklanin di Koran aja mas Timbulsukoco! Biar yang ndaftar banyak!”
“Ini lagi! Koran-koran! Idemu itu nggak mutu! Huuu… ramutu!”

Pernah dulu Timbulsukoco punya karyawan yang biasa saja. Tampangnya biasa. Gayanya biasa. Hidupnya biasa. Karyawan yang biasa saja gampang disuruh. Gak pernah melawan. Dan selalu nurut. Namun ternyata Timbulsukoco nggak betah sama karyawan macam itu. Jadi tak ada yang spesial. Sama saja dengan yan lain. Malah dengan pelayan semacam itu pembelinya pernah mandeg, alias berhenti di empat puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh satu orang perhari!

Timbulsukoco juga pernah hampir suka dengan karyawannya yang sarjana. Lulusan Universitas negeri terkenal di negeri ini. Fresh graduate dari sekolah magister di Perancis. Suka ikut seminar dan pelatihan berbagai macam kegiatan. Tapi Timbulsukoco malah gak betah sampai tiga hari bersama karyawannya yang punya intelektual tinggi itu. Kenapa? Apa-apa selalu dihubungkan dengan teori-teori dalam buku yang penah dibacanya. Sebagian waktu kerjanya malah dihabiskan untuk berteori.

Pegawai yang bandel pun Timbulsukoco pernah merasakannya. Sarjana juga sih. Tapi pas-pasan. Nilainnya pas-pasan. Uangnya pas-pasan. Tampangnya pas-pasan. Cumlaude pun tidak. Apalagi magna cumlaude.Tetapi bandelnya minta ampun. Cara melayani pembeli juga nyentrik. Sambil jungkir balik dan berakrobat! Lain dari yang lain. Walhasil para pengunjung senang bukan main. Makin banyak pengunjung yang datang membeli karena pelayanan yang tak menjemukan itu. Tapi, Timbulsukoco benci dengan gayanya. Walaupun pengunjung jadi semakin banyak, dia tak mau tahu. Dia khawatir banyaknya pengunjung itu hanya sementara. Dan kelakukan pegawainya itu malah akan merusak warungnya saja. Apalagi dia suka mengkritik cara melayani si Timbulsukoco yang dinilai kadaluwarsa. DIPECATLAH dia!

Mending begini saja. Sendiri melayani pembeli. Dulu kakek bisa kok. Malah pembelinya lebih banyak.Belakangan dia menyesal. Pegawai bandel yang dipecatnya ternyata membuka warung cingcau. Cingcaunya enak. Enaaaakkkk sekali. Rasanya bagai melayang melewati langit ketujuh. Maka banyak juga pembelinya. Malah cingcau bikinan pegawai bandel itu sudah menjadi franchise yang gerainya meliputi seratus delapan puluh empat Negara di dunia. Termasuk Amerika Serikat!

Cingcau itu menjadi trend dunia. Mengalahkan restoran siap saji macam Mc Donald. Makan cingcau menjadi trend anak muda yang mendunia. Lebih keren makan cingcau daripada makan hamburger di Mc Donald. Semua hal di inspirasi oleh cingcau-nya pegawai bandel Timbulsukoco itu. Di Milan, Italia, trend mode pun didominsai oleh warna hijau cingcau. Bahkan pemerintah Perancis rela mengecat menara Eiffel dan Arc de Triomphe menjadi hijau cingcau. Amerika pun tak mau kalah. Dia membikin film Spiderman dengan musuh utamanya adalah monster cingcau.

“Dik Timbulsukoco, katanya pegawai dhik Timbulsukoco yang… adhuh namanya lupa aku… pokoknya yang nyentrik itu lho… yang dulu dipecat sama dik Timbulsukoco di depan pembeli… siapa ya?”
“Yang mana Budhe Parti?”
“Halaahh… kok lupa aku? Itu lhooo….”“Oh yang itu… adhuh aku juga lupa…”
Ash… pokoknya itulah… denger-denger dia sekarang sukses jadi direktur perusahaan besar lho.”
“Oooo…”
“Iya dik Timbulsukoco. Itu lho perusahaan es cingcau WENAK!”
“Lhoh… cingcau WENAK itu punyaan itu tho… sapa namanya? Halah lupa aku!” Seru Kang Setro.
“Iya Kang.” Jawab Budhe Parti.
“Malah dia juga buka warung cingcaunya sampae Amerika!”
“AMERIKA?!”
“Ya pantes aja… enak sih cingcaunya. Saya dulu pernah makan cingcau di WENAK itu. Bayangin! Saya nabung seminggu nggak makan siang cuma buat mau makan cingcau WENAK itu!”
“Lhoh sama… sekarang saya juga lagi nabung, saya sampai lembur nyapu biar bisa makan es cingcau WENAK!”
“Eh… ngomong-ngomong cingcau WENAK mau buka yang baru lho… itu deket hotel yang tanahnya dulu punyanya mbah Sukerto!”
“Ah masa?”
“Ah iya?”
“Ah.. syiiikkk!”

Timbulsukoco sibuk kesana-kemari melayani pembelinya. Dia tak tertarik membicarakan bekas karyawannya yang dulu dipecatnya. Bikin sakit hati! Dasar pegawai tengil!

***

Pagi seperti biasanya Timbulsukoco membuka warungnya. Sebelumnya dia memandangi sebuah poster berwarna hijau yang tertempel di pohon randu tempat biasa dia membuka warung. Poster iklan es cingcau WENAK yang terkenal ke seantero dunia. Sudah dua bulan cingcau WENAK berdiri. Gerainya besar magrong-magrong. Papan namanya dengan simbol huruf “W” pun sampai kelihatan dari warung cendol Timbulsukoco.

Cingcau WENAK tiap harinya tak pernah sepi. Tempatnya bersih. Pelayanannya lain dari yang lain. Cepat dan sangat nyentrik. Bahkan ada yang berakrobat. Membawa gelas-gelas penuh cingcau sambil berjungkir balik. Bahkan ada yang memakai skateboard. Ada juga yang sambil bergelantungan seperti Tarzan. Semua pembeli pun sangat terhibur dan senang. Yang datang kebanyakan menggunakan mobil. Parkirnya pun gratis. Namun karena terlalu banyak pengunjung maka mobil yang parkir pun sampai kemana-mana. Tapi jangan kuatir. Parkir di luar area cingcau WENAK masih tetap aman kok. Karena pihak perusahaan WENAK.corp memperbolehkan para penduduk setempat membuka parkiran. Selain itu para penduduk mendapatkan pemasukan. Ditambah lagi setiap cingcau WENAK akan tutup, selalu membagi-bagikan cingcau pada para tukang parkir itu. Para tuKang parkir pun senang bukan kepalang. Sangat senang mendapat cingcau WENAK dengan gratis. Ada yang memakannya pelan-pelan. Bahkan ada yang diawetkan dan dipajang di ruang tamu rumahnya.

Dibukanya warung cendolnya dengan langkah malas. Pekerjaan Timbulsukoco memang agak lega. Tak banyak pembeli dalam dua bulan terakhir ini. Tapi masih ada saja orang yang datang. Tak seramai dulu. Sekarang kursi-kursi kecil tak sering kehabisan. Malah sering tersisa. Tapi paling tidak Kang Setro masih sering mampir tiap pagi ke warungnya. Kang Towir sudah agak jarang, mungkin seminggu sekali saja. Katanya uangnya buat ditabung untuk membeli es cingcau WENAK. Timbulsukoco jadi tak lagi repot. Malah dia sering ketiduran atau tidur-tidur ayam menunggu pembeli. Budhe Parti juga sudah tidak terlihat, keponakannya lebih senang cingcau WENAK, karena kemasannya bisa dikoleksi dan buat mejeng bersama teman-teman sekolahnya.
“Enak ya Mbul ya! Sekarang kalo mau minum cendolmu nggak perlu lama-lama antri lagi.”
“Yaaa.. begitulah… Hooaaaahem.”
“Lho Mbul… itu kan iklannya cingcau WENAK kan?! Wahhh… bagus ya… liat kertasnya kinclong.”
“Yaaa… begitulah.”
Kang Setro sambil berdiri menghampiri poster itu. “Mbul… Mbul… bagus ini! Ini iklannya buat saya ya! Mau tak pigura! Tak pajang di ruang tamuku! Boleh ya Mbul? Wah pasti kamar tamuku jadi tambah ngantheng! Ato ini sengaja kamu pajang di sini Mbul?”
“Yaaa… ambil aja!”
“Aseeekkk….!” Kang Setro melepas poster itu dari pohon dengan hati-hati agar tidak sobek. Tapi walaupun sudah hati-hati tetap masih saja ada yang sedikit sobek di beberapa tempat, Kang Setro tetap sumringah menatap poster “miliknya” itu.
“Mbul… Mbul…” sambil menggulung posternya. Kok es cendolmu ini nggak masang iklan kayak es cingcau WENAK itu tho Mbul
Halah… ngapain Kang?! Gini aja udah rame kok! Ngabis-ngabisin uang aja! Orang juga udah tau kok gimana kualitas dan enaknya cendol warisan mbah buyut saya ini.”
“Lhooo… biar kayak ini. Cingcau WENAK!”
“Kang… saya ini buka warung cendol udah lama Kang! Puluhan tahun! Bahkan sejak kakek buyut saja yang jaman VOC itu! Apalagi cendol saya ini udah kondang. Saben hari juga banyak yang datang.”
“Lha ini… kok sepi?”
“Yaa… ya… lagi sepi aja. Besok kan rame lagi. Mungkin mereka lagi bosen. Kan orang butuh istirahat to Kang. Refreshing. Haa… ini refreshing lidah!”
“Na itu! Bosan! Para pembelimu bosan! Itu-ituuu aja!”
Lha emang itu-itu aja! Orang yang tak jual cuman cendol! Mau diapain? Cendol ya cendol. Bentuknya yang kayak gitu-itu sejak jaman Belanda!”
“Weeee… saya dulu seneng lho waktu kamu itu ganti mangkok. Dari gelasmu yang udah kuotornya minta ampun itu. Malah pada cuil-cuil. Pindah ke mangkok putih ini… lho… yang ada gambar ayamnya. Jadi lebih nikmat!”
“Ya.. kan gelas-gelas itu emang udah usang. Perlu diganti. Makanya ganti yang baru! Ya mangkok itu! Bereskan!”
“Beres! Tapi ngomong-ngomong Mbul ya… maaf lho ini… sorry… menurut saya ya Mbul… tapi… maaf lagi lho ini… anu Mbul. Kan… anu…”
Ona… anu… ona… anu apa to Kang?”
“Anu… kan … maaf lho ini… sorry… kan buka warung cendol ini kan udah lama. Sejak jaman penjajahan. Kok… anu…”
“Apasih?”
“Anu Mbul… kok warungnya cuman gini-gini aja? Di siniii terus… ya… begini-begini aja.”
“Kang…. Begini aja udah banyak yang datang. Untung besar! Mau apa lagi? Nanti kalo tak gedhein dikira kemaruk!”
“Lha itu… cingcau WENAK?! Baru tiga tahun aja udah buka cabang sampai Amerika!”

***

Cingcau WENAK semakin laris saja. Sedang cendol Timbulsukoco makin merana di bawah pohon randu. Banyak juga yang parkir di depan warung Timbulsukoco. Mobil-mobil mewah. Tapi itu karena lahan parkir yang paling dekat dengan cingcau WENAK sudah habis. Maka mereka pun sampai memarkir mobilnya di depan warung Timbulsukoco.Timbulsukoco hanya memandang mobil-mobil yang nebeng parkir di depan warungnya. Pengunjungnya sekarang bisa dihitung dengan jari. Cendolnya memang masih enak. Masih terkenal. Tapi ketenarannya sudah tertutup oleh ketenaran cingcau WENAK. Hanya orang yang kebetulan masih ingat saja menyempatkan mampir. Pernah Timbulsukoco memberi diskon sampai 70% barang dagangannya. Cara itu memang berhasil namun hanya sesaat. Sesudah itu…

Omongan Kang Setro mulai menjadi pikiran bagi Timbulsukoco. Mungkin ada benarnya. Timbulsukoco terlalu terjebak dalam sejarah sukses masa lalu cendolnya. Terjebak dalam euforia-euforia yang sudah tidak njamani lagi di jaman ini. Cara masa lalu kakek buyutnya masih saja dibawa di jaman yang serba cepat ini. Timbulsukoco sadar bahwa dia termasuk kaum nostalgik yang menganggap masa lalu adalah kehidupan ideal, menganggap masa ini adalah hidupnya dan masa depan adalah hal yang aneh. Hingga akhirnya warung Timbulsukoco semakin sepi. Terus merugi. Hidupnya lambat laun mulai susut. Semuanya di ujung tanduk. Cendol paling enak di dunia rintisan kakek buyut yang dulu banyak membantu pejuang itu sedang diujung tanduk. Menunggu mati.

Cendolnya memang enak. Tapi dia lupa mengkomunikasikannya pada masyarakat. Cendolnya sehat, asli dari bahan alami. Tapi dia lupa untuk merawat konsumennya. Cendolnya yang enak sudah bertahan bertahun-tahun. Tapi dia lupa bahwa suatu saat ada orang lain yang mengikuti jejaknya untuk menjadi kompetitor. Dia lupa untuk merawat mereknya. Dia malas. Sangat malas. Penakut. Takut sekali akan hal baru. Produknya hanya cendol. Tak pernah berubah sejak dulu. Hingga konsumen bosan dan meninggalkannya.

***

Pohon-pohon cingcau milik tetangga Timbulsukoco semakin subur. Belakangan banyak tetangganya menanam pohon cingcau. Kualitasnya pun bagus. Daunnya sehat-sehat dan hijau. Ini tak lepas dari pemilik WENAK.corp untuk memberi pelatihan bagi penduduk sekitar gerai untuk menanam cingcau sebagai pemasukan bagi kehidupan masyarakat sekitar. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam. Semuanya berhubungan dengan cingcau. Bagaimana memilih bibit yang baik. Memupuk. Lahan tanam. Dan sebagainya.Cingcau di daerah Timbulsukoco pun melimpah. Dengan kualitas yang bagus dan melimpah, maka harga menjadi murah. Selalu saja habis dibeli oleh perusahaan WENAK.corp untuk menyupali gerai-gerai yang lain. Masyarakat mulai terangkat tingkat perekonomiannya. Hanya satu yang makin terpuruk.

***

Pemilik WENAK.corp mendengar kisah Timbulsukoco. Mantan majikannya itu tenggelam dalam kemiskinan yang tak terbayangkan. Bagaimana tidak? Hidupnya sangat tergantung dengan cendol. Cendol adalah gantungan hidupnya. Cendollah yang menghidupi anak istrinya. Kini cendolnya merana menunggu mati. Jika benar mati, maka matilah Timbulsukoco.WENAK.corp menawarkan bantuan pada warung Timbulsukoco. Subsidi bermacam barang dan uang pun mengalir. Bahkan warung cendol Timbulsukoco dipasok cingcau dari WENAK.corp. Sebagai rasa terimaksih, kata pemilik gerai cingcau terbesar sedunia itu. Kalau dulu dia pernah menjadi karyawan di warung Timbulsukoco. Di warung Timbulsukocolah dia banyak belajar. WENAK.corp tak pernah memberitahu pada konsumen bahwa cingcau yang enak itu juga dipasok ke warung Timbulsukoco.

Warung Timbulsukoco mulai kembali naik pamornya. Kini ada cingcau yang rasanya sama seperti di gerai WENAK. Harganya murah lagi. Di warung Timbulsukoco sangat murah. Rasanya sama. Hanya saja tak memakai kemasan yang membuat prestisius seperti milik gerai WENAK. Kehidupannya mulai membaik. Tak lupa di rumahnya dia juga menanam pohon cingcau kualitas terbaik. Sekarang warung Timbulsukoco juga beriklan. Tentu saja dibantu oleh WENAK.corp. bahkan WENAK.corp menawarkan diri untuk mengelola cendol Timbulsukoco agar menjadi lebih besar. Timbulsukoco tinggal duduk di rumah saja, menanti uang yang terus mengalir seperti air.

Kini cendol Timbulsukoco menjadi milik WENAK.corp. Dipertahankan ciri cendol Timbulsukoco yang berada di bawah rindanganya pohon Randu dengan angin semilir yang membauai. Kini setiap gerai WENAK di seluruh dunia dilengkapi pohon randu. Cingcau WENAK kini punya varian baru yang tak kalah nikmatnya. Tak perlu susah untuk menemukan gerai-gerai WENAK. Huruf “W” yang menjadi logo perusahaan itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Lebih terkenal dari pulau Bali. Jika Anda kebetulan melewati gerai WENAK. Cobalah untuk mampir. Nikmati rasa baru dari WENAK; Randu Cendol namanya. Sudah terkenal kenikmatannya dimana-mana.

Dhanan Arditya
Jakarta11/04/2007
“Cendol di bawah pohon, di depan bengkel kereta api Langensari, memang enak. Bikin kangen sama semilir anginnya sambil nyeruput cendol!”