Monday, October 22, 2007

Selamat Lebaran

Monday, October 08, 2007

Orang-orang Iklan

Iklan. Penghias televisi. Yang sebetulnya jadi sumber pemasukan bagi si stasiun televisi itu sendiri. Setiap orang punya televisi, paling tidak satu. Jika itu benar, maka sempitlah pengetahuan saya tentang media ini. Dan iklan sebagai penghiasnya? Tambah sempit lagi pengetahuan saya. Tak lebih dari manusia picik yang hidup dalam tempurung. Kenapa?

Pernah lihat iklan? Pastinya pernah! Saya yakin setiap orang yang tidak buta huruf pernah melihat iklan. Sekelebat dua kelebat atau malah mencermatinya. Atau yang punya televisi pastinya akan pernah melihat iklan. Jika tidak punya televisi? Di jalanan sekarang rimba raya iklan. Sejauh mata memandang akan bisa dilihat iklan terpancang-pancang, ditempel sanasini. Mengganggu pandangan? Mengganggu pemandangan? Jadi, iklan tak hanya penghias televisi, penghias jalanan, penghias majalah, Koran, radio, tembok, tiang jembatan layang, seng, trotoar, tiang listrik, bilik telephon bahkan tubuh anda sendiri.

Coba cermati iklan-iklan di negeri kita ini! Isinya sama! Entah itu produk jenis apa keluaran dari pabrik mana. Ini tentunya tak lepas dari kreator iklan itu sendiri.

--o0o—

“Wah kowe wis cocok dadi wong iklan!” Begitu kata saya sambil bercanda pada seorang teman yang kebetulan seorang copywriter (penulis naskah iklan) di sebuah biro (agency) iklan yang cukup ternama.

Lho, ha ngopo?” (Lho kenapa?)

“Ngomongmu wis nganggo kata “at least”. Wis cocok kowe, tenan!”

((gaya) bicaramu sudah menggunakan kata “at least”. Udah cocok kamu, bener)

“Hooh po?” (Apa iya?)

“Lha mau! Lagi entas wae. Trus wingi pas neng Yahoo!Messenger.”

(Lha tadi! Barusan saja. Trus kemarin pas di Yahoo!Messenger)

“Hooh jhe… hehe.”

“Mik kurang kata “wich is”. Yen kowe wis iso nganggo rong kata kui, wis sempurnalah! Mik yo dadine kowe dadi… opo yo? Keseret koyo biasane wong iklan. Yen iso malah kowe gawe istilah anyar liyane mau kae. Lha yen kabeh wong iklan podho njuk piye?”

(Hanya kurang kata “which is”. Kalau kamu udah bisa memakai kata itu, sempurna sudah! Hanya jadinya kamu seperti yang lain. Keseret. Kalau bisa malah kamu bikin istilah baru yang beda dari yang tadi. Lha kalau semua sama terus gimana coba?)

“Hooh jhe, aku yo ngrasakne. Ndhisik pas aku neng D***d trus saiki aku neng C*** ****o wonge ki meh seragam kabeh!”

(Iya, aku juga merasakan. Dulu pas saya di **** trus sekarang saya di **** orang-orangnya hampir seragam semua!)

Sebuah percakapan kecil yang sebenarnya bersama beberapa teman lain. Dan entah kenapa, dalam tiga hari kebelakangnya ternyata ada beberapa percakapan dengan teman-teman yang berbeda yang mirip permainan puzzle bagi saya. Anatar lain tentang sebuah pertanyaan pada diri saya; kenapa saya tak terlalu mempercayai AC Nielsen (Lembaga riset multinasional)? Kenapa saya tak begitu percaya teori? Kenapa iklan Indonesia monoton?

--o0o—

“at least” dan “which is” adalah kata-kata yang sering saya dengar dari orang iklan. Pertama kali memasuki dunia iklan kata itu terasa biasa saja. Namun lama baru saya sadari, ternyata hampir semua orang iklan memakainya. Gaya berpakaian mereka juga sama. Bahkan ada yang lebih insightfull, wanita paruh baya yang bekerja perusahaan iklan, biasanya biro iklan besar, suka sekali memakai selendang yang dilingkarkan di leher. Selendangnya panjang menjuntai hampir menyentuh lantai. Yang jadi Account Executive (AE) bekerja bagai kilat, sementara Art Director (AD) dan Copywriter (CW) terlihat lebih santai. Biasanya malam mereka bekerja, jadi terlihat lembur, atau dibawa di rumah. Tas yang dipakai juga sama. Laptop-nya sama. Jika tidak, paling nggak branded-lah barangnya. Sepatunya juga sama. Potongan rambut juga sama. Tempat mereka hang-out sama (manalagi tempat hang-out di Jakarta yang menarik? Hiburan di kota ini monoton! Bahkan sejak lima tahun yang lalu hanya bergeser mereknya saja.). cara mereka hang-out sama. Saat mereka berkumpul di festival iklan, misalnya, tak ubahnya seperti murid-murid Sekolah Dasar yang kesenangan karena lonceng tanda istirhat berbunyi, berhamburan ke luar dengan pakaian yang sama di tempat yang itu-itu saja. Merah-putih.

Kenapa saya menulis ini?

Karena saya merasakannya. Dari manusianya yang belajar iklan sampai manusia iklan itu sendiri. Dan situasi seperti yang saya ceritakan di atas hampir-hampir tak berubah sejak pertama kali saya bersentuhan dengan dunia iklan. Sekitar 5 tahun yang lalu!

Edan! 5 tahun! Padahal konsumen selalu berubah setiap saat. Padahal konsumen adalah sasaran dari iklan itu. Jika orang iklannya tak berubah, pantas saja iklan Indonesia tampak monoton.

Maaf saja jika tulisan ini terasa lebih vulgar dari tulisan-tulisan saya di bawah sana.

Lalu.

Teman saya yang baru saja pulang dari luar Jawa bercerita tentang keadaan di sana. Standar pemerintahan yang pastinya sudah bisa kalian tebak. Sekilas cara mengkonsumsi media hampir sama. Namun acara yang digandrungi ternyata beda dengan dipulau Jawa. Apalagi, beda sekali sama hasil riset AC Nielsen yang memang kebanyakan respondennya di Jawa. Dan saya sendiri pun hampir tak percaya bahwa suku Asmat (karena saya sendiri juga belum sempat ke sana) di pesisir Papua sana ternyata di rumahnya sudah terpasang antenna parabola yang bisa menerima siaran dari luar negeri, dengan koneksi internet dan dari aksesorisnya berkacamata Oakley terbaru dan memegang handphone nokia. Sementara mereka berpakaian suku primitif dan banyak orang menjadikannya obyek bagi kamera mereka. Itu yang saya dengar dan lihat waktu suku Asmat bertandang ke Ancol, Jakarta.

Indonesia terdiri dari bermacam suku bangsa. Itu sudah jadi pelajaran sejak SD! Kalau ada pameran budaya di luar negeri, pasti akan bingung karena tak menemukan buadaya Indonesia, karena adanya budaya Jawa, Sumatra, Bali, Flores, Papua dan sebagainya. Setiap daerah itu punya karakteristiknya sendiri-sendiri. Punya cara dan adatnya masing-masing. Jika orang ilklannya monoton apa bisa diperbuat dalam waktu-waktu ke depan? Apalagi kebanyakan dari teori iklan adalah teori dari luar negeri Indonesia. Apa mau di kata? Tak ubahnya sebagai pemaksaan! Pemaksaan teori pada karakter bangsa-bangsa. Apa yang terjadi? Mau tak mau karakter itu dipaksa punah. Dipunahkan.

Lulusan komunikasi yang semakin banyak seharusnya dapat mengubah wajah berbagai media di negeri ini. Namun sayangnya banyaknya lulusan itu tak berbanding lurus dengan kualitas media. Lihat saja, acara sahur tiap bulan Ramadhan sudah sejak 7 tahun lebih ke belakang isinya hanya guyonan saja!

Mungkin semasa “Medan Prijaji” (Medan Priyayi) dulu terbit sebagai harian pertama di Hindia, media massa memegang pernanan penting untuk menggerakkan massa. Saat Medan Prijaji memberitakan bahwa sepatu bukanlah simbol dari Kristen dan bukan simbol dari hal yang berbau Eropa, maka esok harinya berbondong-bondong anak mudanya ke took sepatu, menghiasi kaki mereka dengan sepatu-sepatu. Dan sekarang media semakin clutter dengan pemberitaan yang dramatis dan bombastis!

Lalu saat orang-orang iklan berburu award. Pihak klien tetap berburu rupiah. Sebuah hukum ekonomi yang tradisional melawan kegiatan yang lebih bersifat sosial dari orang iklan. Walhasil, ber-onanilah orang-orang iklan. Apa mau diperbuat? Nanti jadi seperti saya! Manusia picik yang tersungkup dalam tempurung.

Mungkin saja permasalahannya Nasionalisme?

Nasionalisme?

Saya sering diejek teman-teman saya. "Hari gini ngomongin Nasionalisme! Jaman globalisasi kok ngomong nasionalisme!" Biarkan saja. Beberapa taun ini saya jadi nasionalis... hehe... Sebab saya pikir, tanpa itu bangsa kita akan terus diinjek sama bangsa lain. Dari ekonominya, informasinya, budayanya... bah! Tentu masih segar dalam ingatan lagu "Rasa Sayange" yang dari Maluku itu hak ciptanya sudah keunyaan Malaysia! Dan saya setuju dengan ide Andre Hehanusa, karya dibalas karya. Dan saya rasa itu bukanlah kepintaran Malaysia, hanya kebodohan kita yang tak memikrkan hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Tempe kalo ndak salah udah milik Inggris. Batik udah milik Malaysia. Sisi mana lagi keindahan Indonesia yang mau di ambil alih manusia luar?

Lebih setengah abad rasanya belum mampu menghapus penjajahan yang tiga setengah abad itu! Masih terlalu muda. Seperti halnya manusia muda, kita harus banyak belajar pada banyak hal. Apapun pada siapapun. Apalagi negeri tetangga yang kebanyakan lebih muda dari usia negeri ini. Masih kental rasa untuk memiliki sesuatu yang dipandangnya bagus tapi bukan miliknya. Harus pandai ngemong pada manusia muda itu. Biasanya kan anak kecil masih tak punya malu untuk berlarian tanpa baju di tanah lapang!


--o0o—

Sebuah kesempatan. Saya mendapat beasiswa untuk sekolah iklan di Jakarta. Hasil dari menang sebuah lomba. Apa yang terjadi? Ternyata cerita saya di atas tentang orang-orang iklan yang sama itu sudah terjadi sejak masa perkuliahan! Gaya bicaranya sama, tongkrongannya sama, laptopnya sama, pakaiannya sama, sepatnya sama, hang-out nya sama, tempat makannya sama.

Bayangkan sebuah kotak. Boleh warnanya merah, putih, item, abu, biru terserah warna yang kau sukai. Bagilah kotak itu. Bisa dengan diiris-iris sama besar, dicacah hingga irisannya berbeda-beda ukuran, dicuil-cuil terserah kalian. Apa yang kalian lihat? Bagian-bagian dari kotak itu, tercerai berai dengan ukuran seperti halnya kalian membagi kotak itu. Tapi warnanya tetap saja semuanya seperti warna yang kalian bayangkan. Sama semua. Berbeda dengan mainan puzzle, tiap bagian punya perannya sendiri. Mereka berbeda. Mungkin hampir sama warnanya. Tapi walaupun mereka berbeda-beda, mereka saling melengkapi dan menjadi satu bagian utuh bersama.


--o0o--


Jadi paling tidak kita akan melihat iklan yang sama dalam beberapa tahun ke depan lagi. Entah itu produk apa dari pabrik mana.

Kapan kita berubah?

Apa akan terus jadi katak?

Apa akan terus melihat jauh kemilau emas di luar yang belum tentu terjangkau, sementara lautan permata dan berlian ada di dekat kita?