Tuesday, July 08, 2008

(Kuis) Hemat Energi

Seperti ajakan pemerintah sekarang. Karena listrik sering mati. Giliran. Oglangan.
Maka energi alternatif diperlukan untuk menghadapi krisis listrik nasional ini.

Di atas ada kartun dengan balon kata-kata yang masih kosong.
Berilah nama pada kedua tokoh dan isilah balon kata-kata sesuka anda!

Selamat mencoba ya...

Repro

"Spirou et Vertignasse."
Repro dari komik "Le Petit Spirou" (Perancis)
dengan spidol Snowman coklat, oranye dan kuning yang hampir habis.

Kuliah di Bawah Pohon Kepel

Percaya nggak, kuliah saya selama 7 tahun 3 bulan hanya habis 6 jutaan! Itu pun sudah saya bulatkan ke atas!
(Tulisan ini terinspirasi dari tulisan di blognya Pe'i (Angkatan 1996), yang dirinya juga terinspirasi dari blog temennya)

1998
"Penghujung" euforia reformasi. Sisa-sisa demonstran masih bercerita tentang heroisme penurunan Suharto. Mahasiswa baru pun manggut-manggut mendengar mahasiswa lama yang bercerita. Mulanya, seperti shock! Dari masa SMA yang penuh kegiatan gak penting yang menyenangkan, ke masa kuliah yang ternyata orang-orangnya sangat serius dan mendiskusikan segala hal.

=======

Dulu, waktu kecil, ketika sering membonceng bapak dengan motornya. Kebetulan melewati boulevard UGM atau Gedung Pusat UGM. Di sana banyak beberapa kelompok mahasiswa yang sedang asik ngobrol, diskusi, berkegiatan, pacaran atau hanya nongkrong saja. Kupikir, asik juga bersama teman bermain di sana. Rumputnya hijau dan sejuk. Pasti kalo pagi akan banyak embunnya, dan sisa tanah coklat dan bau rerumputan yang patah karena diduduki menempel di bokong dan menjadikan celana menjadi kotor. Namun, waktu itu saya masih kecil. Jarak dari rumah saya ke UGM masih terasa jauh. Apalagi, pasti capek jika ditempuh dengan sepeda BMX saya yang sering lepas rantai dari geriginya.

Gama Fair.
Masih dalam cerita masa kecil saya. Dulu setiap UGM ulang tahun, jalan Kaliurang yang membelah UGM selalu ditutup untuk perayaan ulang tahun UGM. Waktu itu, di bagian Timurnya masih berupa bulak (makanya daerah situ namanya bulaksumur), yaitu; berupa hutan dan sedikit rawa-rawa. Sekarang sudah menjadi Graha Sabha Pramana, gedung milik UGM yang suasananya lebih cair daripada Gedung Pusat.

Gama Fair selalu ramai. Seperti sekatenan kedua di Jogja. Mulai dari Gedung kesenian (... wah, kenapa saya bisa lupa namanya ya?) sampai Selokan Mataram. Penjualn berjejeran. Kata ibuku, ini untuk memperingati ulang tahunku juga! Whuuaaah... tidak sangka! Ulang tahunku selalu diperingati semeriah ini!
Tapi. Setelah makin lama, makin tahu, kalau ulang tahun UGM ternyata sama dengan tanggal lahirku!

=======

Kembali ke tahun 1998!
Jam 4 pagi saya sudah dibangunkan oleh ibu saya untuk segera berburu Kedaulatan Rakyat, koran lokal Jogja, untuk menengok pengumuman UMPTN. Dinginnya Jogja waktu itu, mata masih berasa cuman segaris. Cuci muka sekenanya, dan kami pun berdinging-dingin menembus pagi mencari penjual koran. Untunglah tak jauh dari rumah ada penjual korang baru keluar dari sarangnya. Dalam perjalanan pulang, langit masih gelap, ada bintang yang sangat terang sekali (bukan matahari lhoh!) di Timur. Mungkin akan miring sedikit beberapa derajat ke Utara. Selama menyetir motor, saya hanya melihat bintang terang itu sambil berpikir apakah ini pagi yang menyenangkan atau mengecewakan. Untunya jalanan masih sepi. Dan Jogja tak seramai sekarang ini.

Tak disangka!
Nomor ujian UMPTN ku tak tercatat di pengumuman koran pagi itu! Sialan! Padahal saya yakin dan selalu ingat dengan nomor ujian UMPTN itu! (Sekarang sih sudah lupa!). Gimana memberitahu ke pada semuanya. Sementara semua anggota keluarga masih sibuk merunuti lembar-lembar koran yang dibagi-bagi.
Mereka baru sadar, bahwa jika mencari berdasarkan nama akan sangat melelahkan. Karena mahasiswa baru yang tertera di sana diurutkan berdasarkan nomor ujian UMPTN.

Ketika ibuku menyuruhku untuk mengambil kartu ujian UMPTN, untuk melihat nomornya, saya pun berjalan dengan tidak bersemangat. Mau kuliah di mana? Semuanya mahal! Terakhir menengok sebuah universitas desain aja biaya per semsternya aja 5 jutaan! Kampret!!! Itu sekolah apa rampok!
Memerlukan waktu agak lama untuk mencari kartu UMPTN di atas mejaku yang selalu berantakan oleh buku-buku dan potongan kertas stiker.

Tak disangka lagi!
Saya ternyata melupakan satu angka! Padahal selama ini saya selalu PD dengan ingatan saya! (hmm... mungkin karena ini berhubungan dengan angka!). Masih ada kesempatan. Kartu saya berikan pada ibu dan menjadi rebutan anggota keluarga. Saya sendiri segera mengambil koran yang tadi saya runuti. Saya yakin... yakin sekali! Nama saya ada di lembar yang saya pegang ini. Bahkan saya yakin sejak hari pertama ujian UMPTN! Itulah modal yang saya punya. Energi yang membuat selalu bersemangat. Pembuktian pada siapapun! Pada guru matematikaku yang selalu memandang sebelah mata. Pada teman-teman yang meremehkan. Pada seseorang. Pada siapapun!

Dan senyum pun mengembang! Pagi yang indah. 122184/.... DHANAN ARDITYA dengan huruf kapital berada diantara ratusan nama di koran itu! Segera saya umumkan pada anggota keluarga. Dan ibu segera menyuruh semuanya bersujud sukur. Entah apa doanya, dulu pernah diajari waktu SMA, saya bersujud saja.

Malah belum menengok diterima di jurusan apa. Tak disangka lagi! Komunikasi. Itukan pilihan pertama! Apalagi jurusan itu menjadi favorit dari tahun ke tahun dan sudah mengalahkan jurusan Hubungan Internasional. Tapi saya tak berpikir tentang itu. Saya hanya berpikir bahwa di Komunikasi tidak ada pelajaran matematika dan ada kuliah sinematografi (pasti bikin film!). Namun itulah kompetisi, hal terpenting yang saya pelajari dari kompetisi adalah; Percayalah pada dirimu sendiri, dan jadilah dirimu sendiri!
Buat rivalmu seakan-akan ujian ini berat, dan pikirkan dirimu adalah pemenangnya! Itu energi ajaib yang selalu saya rasakan di setiap kompetisi. (Banyak teman saya bilang bahwa teori saya itu akan membuat diri sendiri hancur jika kalah! Jawab saya; siapa suruh percaya teori saya, saya sendiri gak percaya teori. Itu hanya soal kebiasaan. Mungkin dia tak memahami arti kompetisi. Sekali lagi... itu hanya soal kebiasaan!).
Bersiaplah untuk hasil terburuk, dan berpikirlah untuk menang!

=======

Jadi.
Imajinasi masa kecil saya terlaksana sudah (jangan takut untuk bermimpi! Mimpi itu gratis! Kita bisa jadi apapun di sana. Sukur-sukur jika mimpi-mimpi itu jadi kenyataan). Dan akhirnya saya baru tahu kenapa kuliah di negeri menjadi buruan waktu itu. Selain dosennya yang populer juga karena ini;

Saya mencoba berhitung mengenai biaya kuliah saya yang 7 tahun 3 bulan itu.

Biaya kuliah normal selama 7 tahun (14 semester):
Rp. 225.000,- x 14 = Rp. 3.150.000

Biaya kuliah tak normal (karena kelebihan 3 bulan):
Rp. 500.000,-

Biaya kuliah semester pendek 2 kali:
Rp. 500.000,- (saya bulatkan ke atas tuh!)

Biaya pendaftaran (Penataran, Ospek, Jas Almamater, termasuk ongkos parkir, afdruk foto, beli bensin, dll)
Rp. 400 ribuan --> Saya bulatkan ke atas saja Rp. 500.000,-

Biaya wisuda dan KKN
Rp. 800.000,- --> saya bulatkan ke atas lagi jadi Rp. 1.000.000,-

Biaya beli-beli dan fotokopi buku:
Rp. 1.000.000,-

Total biaya kuliah Rp. 6.650.000,-

Biaya ini sama saja kuliah di swasta satu semester!
Apalagi kuliah di Imago Jakarta! Satu mata kuliah pun gak dapat! (Untung saya gratis!).

=======

Biaya seperti itu membuat beberapa mahasiswa terlena. Kadang bayar SPP di rapel. Nunggu proyek datang dari langit! Hingga menjadi macan-macan kampus yang suka nongkrong di bawah pohon kepel, depan jurusan. Nitip absen kalau dosennya membosankan, atau ikutan kuliah jika banyak yang cantik, walaupun tak mengambil mata kuliah itu. Tiduran di sana, sambil menunggu titipan gudeg Yu Djum. Nongkrong dari pagi sampai sore, dari sepi hingga sepi lagi. Bermain poker atau tebak skor pertandingan bola dengan taruhan 1000 rupiah per orang!
(Do niat kuliah rak jhe!!! Yen mik niate nongkrong.... yo podho ro aku! hihihi...)

=======

Sekarang biaya kuliah di UGM melonjak! Mungkin dengan nominal segitu, hanya cukup untuk dua semester. Mungkin juga hanya satu semester! Pohon kepel yang biasa buat nongkrong sudah dihias dengan kursi dan meja permanen lengkap dengan colokan listrik untuk laptop, karena sekarang area di sana di lengkapi dengan wifi, hingga bisa berinternet gratis.
Wah, sudah banyak berubah....!
Terakhir saya ke sana, hanya nunut pipis! Diantar perempuan cantik yang baru hari itu juga saya bertemu dengannya!
Coret-coret di dinding kamar mandi yang terkadang bikin geli, sudah tak terlihat lagi. Mahasiswa bercelana belel dengan sobekan di dengkul, berkaos oblong dan bahkan belom mandi pun tak terlihat lagi di sana. Tapi papan pengumuman nilai masih juga seperti biasanya. Perasaan, kampusku sekarang ini jadi agak sepi ya? Mungkin karena hari Jumat ya? Memang biasanya hari Jumat lebih sepi dari biasanya. Tapi tak sesepi ini.

Hmmm...
Kuliah yang mahal!
Ayok nabung mulai sekarang, buat anak-anakmu!

Nanti generasi masa depan malah benar-benar kuliah di bawah pohon kepel!
Tanpa guru.

Love


Repro 2

"Keluarga Cedric"
Repro dari komik "Cedric"
dengan pensil.

Monday, July 07, 2008

Dasar Orang Jogja!

Sebuah insight yang dilontarkan teman saya, Shierly yang cantik, Perempuan keturunan Tionghoa yang berlesung pipit, tentang orang Jogja adalah "...hampir semua orang Jogja yang saya kenal, sangat membanggakan ke-Jogja-annya dan Sri Sultan yang bijaksana."

Saya mulai makin sadar bahwa saya pun begitu, namun tidak untuk alasan yang kedua! Teman-teman dari Jogja yang saya temui juga ternyata melakukan hal yang sama. Namun, bukankah itu bagus! Setiap individu menjadi PR (Public Relations) bagi kota tercintanya. Tak jarang, orang yang saya kasi cerita tentang Jogja pun menjadi penasaran dengan Jogja. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berlibur beberapa hari di Jogja. Dan tebakan saya pasti benar! Dia akan segera jatuh cinta sama Jogja.

Mungkin karena Jogja adalah tempat lahir saya, hingga saya begitu menyukainya. Begitu lahir mak jebrul! Saya sudah bersentuhan dengan kerajinan tangan sepatu milik simbah saya, puisi dan lukisan bikinan Pak Dhe saya lengkap beserta obrolan-obrolan bersama seniman-seniman Jogja yang kondang di masanya. Saya anggap membosankan, karena waktu kecil obrolan mereka terlalu berat. Bahkan, saya pernah bilang sama temen saya (salah satu yang terprovokasi itu) bahwa "saya lebih mengenal Jogja daripada diri saya sendiri!"

Jogja adalah kota yang unik. Walaupun sejak lahir saya sudah di sana, namun sepertinya tiap hari banyak hal baru yang bisa ditemukan. Jalanan sempit Kota Gedhe sehabis hujan, pemandangan sore langit Jogja yang selalu indah, manusianya dan segala macam yang menempel dengan Jogja. Jogja punya kharismanya sendiri. Walaupun tak secantik kota-kota besar tingkat dunia, namun dia seperti perempuan cantik penuh pesona yang selalu memberikan inspirasi jika kita mau memahaminya.

Sekarang saya di Jakarta. Kota yang kata orang semuanya tersedia ada di sini. Namun saya gak percaya dengan kata orang itu. Di sini serba dalam keterbatasan. Tak semuanya ada di sini, terutama yang berhubungan dengan pertemanan, persahabatan, cinta dan kasih sayang.

Suatu saat teman saya yang orang Jogja menunjukkan kekesalannya pada sebuah iklan di televisi yang menganggap Bali lebih baik dari Jogja. Kata saya "Biarkan saja, lagipula kata "Jogja" lebih banyak dis ebut di iklan itu!".
Saya pun pernah merasa sebal dengan penelitian Iip Wijayanto yang mennyatakan bahwa "98% mahasiswi di Jogja tidak perawan!". Namun belakangan saya menjadi punya pandangan lain. Di tengah dinamika Jogja yang semakin ruwet. Saya berharap penelitian Iip Wijayanto diekspose lagi, sehingga akan banyak orang berpikir bahwa Jogja tak sesempurna kelihatannya. Jadi Jogja akan kembali sepi. Dan nostalgia masa kecil saya yang sering diajak nongkrong oleh Pak Dhe saya terjadi lagi. Malioboro kembali dikuasai seniman. Jalanan mejadi lengang. Mall pada tutup. Dan Jogja kembali menjadi Jogja!