Wednesday, February 06, 2008

Saat Udara Semakin Ruwet

Seru sekali film di televisi malam ini. Adegannya sedang menegangkan! Sang pahlawan sedang terjepit dan terancam senjata sang musuh. Saat senjata si musuh akan mengenai leher si pahlawan... lalu... Iklan rokok keluar dan lalu diikuti iklan sabun yang menawarkan formula paling mutakhir, tak mau ketinggalan jamu pegal linu pun turut menyusul dan entah apalagi yang akan muncul.
Saatnya ke kamar kecil untuk buang air kecil lalu ambil sedikit camilan atau meneruskan mengetik sms buat seorang teman di ujung dunia sana.

Afghon sedang menyetir motornya menyusuri jalanan di Jogja, seperti biasa sambil mendengarkan radio dengan handsfree fasilitas handphone-nya. Lagu Maia Estianti yang lagi booming. Lagunya ringan hingga dia masih bisa konsentrasi dengan jalanan. Tinggal beberapa detik lagi lagu itu akan habis lalu... jingle radio yang menyiarkan pun muncul, lalu diikuti iklan obat batuk, disusul iklan nonton bareng Chelsea melawan Manchester United yang akan diadakan di salah sati cafe di Jogja dan sederetan iklan lain yang Afghon pun tak sempat mendengarkan karena segera mengganti saluran radio untuk mendengarkan musik yang lain.

Hani, seorang media buyer bagi perusahaan periklanan di Jakarta mengeluhkan masalah kliennya yang super rewel, maunya harus cepat padahal kliennya itu jika memberi materi pasti selalu mepet. Dia jadi blingsatan memasukkan iklan itu. Masalahnya, iklan sekarang harus antri!!! Apalagi di program khusus atau program-program prime-time. Berebut! Bisa bonyok-bonyok karena baku hantam dengan pemasang iklan yang lain. Ribuan umpatan dan caci-maki keluar dari mulut tipisnya. “Dasar pengusaha! Iklan bagus harus di media besar! Ah... omong kosong!”. Jika tak mau repot, ya dipasang saja di media seadanya. Murah dan nggak perlu capek-capek antri! Impact-nya pun seadanya. Mungkin. Atau kalau tetap mau di media besar tanpa harus antri, ya bayar lebih mahal atau manfaatkan hubungan personal.

Peristiwa seperti itu pun juga terjadi di media cetak. Sistem cetak jarak jauh yang hanya dalam hitungan menit membuat biaya iklan semakin mahal. Namun walaupun mahal, masih saja banyak perusahaan yang berderet-deret mengantri untuk mendapatkan space terbaik dengan harga yang saling menguntungkan. Isi media pun tersumpal-sumpal dengan iklan. Silih berganti iklan-iklan itu muncul. Tiap jengkal halaman dalam media tak luput dari iklan. Tiap menit dalam radio atau televisi pun selalu berhias iklan. Masyarakat bisa bingung karena banyaknya iklan. Namun mau gimana lagi. Masyarakat juga harus maklum. Karena media-media itu hidup oleh iklan. Jika tak ada iklan, pasti tak akan tahu berita spektakuler terkini yang sedang populer!

Iklan butuh media, media butuh audiens, audiens yang membeli produk iklan. Seperti lingkaran yang tak kunjung habis. Media menjadi hutan iklan. Semakin rimbun saja dipenuhi promosi. Media mengeruk untung, berebut kue iklan. Audiens semakin bingung. “Tadi yang gambarnya mbak Dian Sastro tadi iklan sabun merek apa ya?”. Efektifitas iklan dalam media cetak atau elektronik pun belum mendapatkan formula yang tepat, sehingga dipertanyakan validitasnya. Sementara lembaga riset yang ada pun masih perlu dikritisi lebih lanjut.

Iklan di indonesia mulai marak ketika munculnya televisi swasta di awal tahuan 90'an. Sebelumnya di awal 80'an TVRI memang menyiarkan iklan. Namun itu tak berlangsung lama. Munculnya televisi swasta memicu pertumbuhan advertising agency di Jakarta. Matari, Citra Lintas, IndoAd, Fortune adalah beberapa advertising agency yang tumbuh saat itu. Tak berselang lama, advertising agency multinasional pun berdatangan. Beberapa biro iklan lokal pun diakuisisi. Citra Lintas berubah menjadi Lowe Lintas dan akhirnya menjadi LOWE. LOWE mulanya adalah in-house agency bagi perusahaan consumer-goods Unilever. Lalu IndoAd pun berubah menjadi Ogilvy and Matters. Leo Burnett pun segera masuk meramaikan dunia periklanan Indonesia. Di awal tahun 90'an hingga menjelang awal millenium, iklan tak sepadat sekarang. Pasti masih ingat dengan kalimat “Saya minta yang paling enak!” dari Ajinomoto. Dunia biru dengan lagunya yang selalu terngiang dari iklan rokok Bentoel. Iklan Procold yang selalu muncul saat pemutaran film Saur Sepuh. “Inga'-inga' ting!” dari sebuah iklan layanan masyarakat bikinan Garin Nugroho. Di era itu, iklan begitu gampang masuk dan menancapkan jargonnya.

Advertising agency di Indonesia pun mulai tergiur dengan banyak penghargaan iklan luar negeri yang bergengsi. Apalagi di dukung oleh hasil riset Donald Gunn, seorang kreator, juri sekaligus peneliti periklanan, yang mengatakan bahwa 98% iklan yang menang award/lomba itu menjual! Tak pelak lagi, tim kreatif advertising agency itu berlomba-lomba memeras otak untuk menghasilkan iklan, yang mereka anggap, berkualitas. Hingga saat ini pun hasilnya kurang begitu memuaskan. Hanya beberapa gelintir saja yang bisa menembus award bergengsi itu. Untuk soal perebutan award iklan dunia itu Indonesia masih kalah dengan Thailand, Jepang, India bahkan Malaysia.

Dengan ke-bergengsian berbagai award itu, terkadang pemikiran advertising agency pun sering berseberangan dengan perusahaan yang menjadi kliennya. Sementara advertising agency menginginkan iklan berkualitas yang membuat audiens berpikir dengan jalan memutar, maka perusahaan ingin produknya cepat laku sehingga jalan memutar terlalu jauh untuk mencapai konsumen. Dengan kondisi seperti inilah maka cara-cara yang kurang terpuji pun dilakukan. Maka tak jarang dalam penghargaan iklan itu muncul scam-ad. Yaitu, iklan pura-pura. Pura-pura bikin iklan. Pura-pura ditayangkan (karena salah satu syaratnya harus sudah pernah ditayangkan). Kongkalikong dengan klien dengan iming-iming diskon. Semuanya supaya pihak advertising agency bisa membuat iklan yang menurutnya sempurna demi banyak award!

Sepertinya pembicaraan terlalu melebar?
Baik... kita kembali ke iklan dalam media...

Biaya iklan memang mahal. Di banyak perusahaan, biaya bersosialisasi ini menyedot lebih kurang 50% dari anggaran tahunan perusahaan. Biaya pembuatan iklan pun tak kalah mahal. Dari segi pencarian ide pun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Mereka akan merumuskan banyak ide untuk dipersempit lagi. Jika ide yang sudah disetujui klien itu dibatalkan, maka perusahaan pun harus menyerahkan cancelation-fee pada agency sekitar 25% dari nilai kontrak. Belum lagi saat produksi yang biasanya menggunakan tenaga kerja mancanegara, pos-produksi yang minimal di Thailand (kabarnya di sana lebih murah), juga tak menutup kemungkinan talent dari mancanegara juga. Biaya mahal yang ditanggung perusahaan untuk beberapa detik di televisi dan sekian milimeter di media cetak.

Belum lagi hasil iklan itu harus berjejeran dengan iklan lain. Hmmm... betapa malanganya nasib si Hani, teman saya yang jadi media buyer itu. “Lebih malang lagi perusahaan! Aku sih biasa aja, asal masih ada yang mau beriklan dan asal mereka masih kuat bayar uang “antri”.” begitu dia menimpali. “Udah tau penuh sesak. Kenapa memaksakan diri untuk masuk juga? Jika tak menarik, dia akan tenggelam dalam lautan iklan.”

Media Alternatif
Iklan menjamur menghiasi frekuensi-frekuensi televisi, radio, handphone, PDA dan peralatan komunikasi lain. Pancarannya kemana-mana menembus regional suatu daerah. Udara pun semakin ruwet. Media cetak pun tak ketinggalan, sistem cetak jarak jauhnya dan teknologi-teknologi yang mendukung membuat berita datang semakin cepat. Terkadang berita meyempil diantara kotak-kotak iklan. Efektifitas iklan pun dipertanyakan. Masih efektifkah suatu produk beriklan dalam media konvensional? Atau hanya sia-sia belaka?

Media alternatif menjadi solusinya. New media belakangan menjadi sebuah mata kuliah di beberapa perguruan tinggi dunia. Bahkan tahun lalu, the British Council menyelenggarakan kompetisi New Media. Media ini mencoba keluar dari kerumunan komunikasi media konvensional. Tentu saja media ini tampil berbeda dari biasanya, dan belakangan selalu berhubungan dengan bellow the line advertising (misal; event, kompetisi, dsb.). Dalam new media, impact diharapkan lebih konkrit dan bisa diterima langsung. Selain itu media alternatif lebih murah dan lebih segmented. Audiens yang dituju jelas, yang datang pun jelas. Jika sepi? Memang itulah keuntungannya. Impact jelas.

Untuk event saja tak melulu soal musik. Event yang berbau kompetisi lebih digandrungi. Cocacola dengan event tahunannya bersama Tabloid Bola menyelenggarakan Piala Cocacola yang diikuti oleh sekolah-sekolah SMU dan yang sederajat se-Jabodetabek. Dengan slogan “Baca Bola, Minumnya Cocacola”, para pemain beserta suporternya seperti tersihir saja berlama-lama di lapangan dengan puluhan brand Cocacola dan Bola di mana-mana. Belum lagi saat final, acara yang berlangsung sekitar 3 bulan (pertandingan Sabtu-Minggu) itu pun ramai oleh penonton. Di situ bisa terlihat bagaiman antusiasnya penonton dan pemain terhadap pertandingan yang sedang berlangsung. Mereka silih berganti berdatangan, bersorak, menari dan menyanyi. Diiringi jingle Cocacola yang selalu berkumandang. Jiwa kemudaan yang menggelora. Itulah yang tampak di permukaan. Saat pulang mereka akan bercerita tentang pertandingan. Pembawa kabar bagi mereka yang tak sempat untuk ikut untuk memberi kesan tentang keramaian yang terjadi, tentang kesenangan, tentang kemenangan, tentang Cocacola!

Sementara untuk media luar ruang, biasanya disebut ambient. Jenis promosi ini lebih memanfaatkan ruang sebagai ajang promosi. Jenis ini mencoba untuk merespon ruang-ruang yang ada. Bentuk-bentuknya pun unik, tak lazim dan menarik, biasanya interaktif dan berberupa display-display. Sebuah tanki yang pengangkut cairan kimia di London dicat menyerupai sebatang rokok. Memang bentuknya agak sedikit pendek, namun rokok itu terlihat besar dan mencolok. Di belakang truk tanki itu tertempel beberapa rambu-rambu peringatan berwarna kuning tentang kandungan racun yang ada dalam sebatang rokok. Inilah PSA (Public Service Announcement/ Iklan Layanan Masyarakat) tentang bahaya merokok.
Namun jika masih ingat, dulu di tahun 80'an, di Indonesia. Paling tidak di kota saya sewaktu saya kecil. Ada mobil berbentuk botol kecap ABC yang wira-wiri mengitari jalanan di Jogja.

Berupa happening-art pun ada. Pernah saya lihat di sebuah mall besar di Jakarta. Sebuah produk jins mengeluarkan sebuah patung batu yang berjalan mengelilingi mall (orang yang diberi warna batu dan berjalan kaku, mirip pantomim). Patung batu itu berjalan kaku di lantai tiga menyisir sepenajang reling, sehingga orang-orang yang di lantai satu pun melihat patung batu yang berjalan dengan diikuti banyak orang yang antusias. Patung itu pun menuruni eskalator dengan muka yang penuh senyum. Para pengunjung mall pun ikut turun bersamanya. Sementara di bawah sudah menunggu banyak orang. Patung itu pun memperlihatkan mimik yang kebingunan dan cemas. Dia tidak tahu harus berjalan kemana. Akhirnya dia punya ide, dia keluarkan sebuah souvenir yang bertuliskan logo dari jins terkenal itu. Lalu diberikan kepada salah seorang penonton. Tapi.. eits... susah diambil. Tiap penonton yang akan mengambil selalu meleset. Tangan patung itu walaupun lambat, namun susah ditebak kemana bergeraknya. Patung itu menunjukkan mimik kecewa lagi karena belum ada yang bisa mengambilnya. Saya pun mencoba, sekali gagal. Begitu juga yang kedua, keempat sampai ke dua belas. Melihat kegigihan saya, patung itu pun memberikan dengan sukarela souvenir itu. Sekarang masih tergantung dalam tas ransel saya.

Pernah juga, patung Ronald McDonald's yang selalu duduk di depan gerai-gerai McDonald's dibawahnya di taruh baungkus Kentucky Fried Chicken (KFC) dan di mulut Ronald diberi sisa-sisa remah ayam goreng. Tentu saja ini terjadi di luar negeri. Memberikan kesan bahwa Ronald McDonald's pun kalau makan ayam tetap beli di KFC!

Media alternatif bermacam bentuknya. Tergantung dengan tingkat kreativitas para kreator iklan dan marketer yang didukung perusahaan untuk menciptakannya. Cara alternatif untuk berkomunikasi dengan audiens yang menjadi calon konsumennya. Cara elternatif untuk menyampaikan pesan agar bisa keluar dari timbunan informasi yang ada dalam media-media.

Ide Alternatif
Media alternatif tentunya harus juga didukung oleh ide-ide alternatif yang brilian. Ide-ide itu biasanya tampail segar, unexpected, lucu atau menyentuh perasaan, dekat dengan keseharian dan simpel. Sehingga untuk keluar dari kerumunan iklan konvensional biasanya menggunakan kata dan tata bahasa yang tidak generik atau tidak pasaran. Kata-kata semacam “IKUTI!, SAKSIKAN! GELEGAR! GEBYAR! BARU! JANGAN KETINGGALAN!” sudah dianggap sebagai kata-kata yang usang dalam merumuskan ide alternatif ini.

Ide alternatif biasanya tampil sangat halus, namun ada juga yang datang secara langsung dan hard-sell. Bahkan saking halusnya, audiens bisa membayar untuk melihat promosi itu! Contohnya: Chuck Noland sedang dalam perjalanan menggunakan pesawat perusahaan Federal Express (FedEx) tempat dia bekerja. Ditengah perjalanan terjadi badai. Pesawat pun mengalamai kecelakaan dan jatuh ke laut. Kecuali Mr. Noland, semua awak pesawatnya tewas. Sistem navigasi dan komunikasi di pesawat itu mati. Beruntung di dekat lokasi kejadian ada sebuah pulau kosong kecil. Dia pun mencoba untuk mempertahankan hidup di sana. Dia terlantar, apalagi barang-barang atau paket yang harus di antar sampai tujuan. 4 tahun Mr. Noland survive di sana dengan segala keterbatasan. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan mengantarkan sebuah paket kepada pemiliknya jika dia berhasil selamat. Hingga ia ditemukan oleh sebuah kapal. Dan benar saja, dia kemudian mencari alamat tujuan paket dan mengantarkannya. Walaupun sang pemilik sudah tidak ada karena “delay” 4 tahun. Itulah cuplikan dari film peraih Oscar yang dibintangi oleh Tom Hanks yang berjudul Cast Away.

Sebuah pesan dari film itu adalah bahwa seorang pegawai Federal Express memperjuangkan hidupnya, survive, demi sebuah tugas. Dia akan menyelesaikan tugas itu walaupun banyak rintangan yang dihadapi. Tak peduli apakah harus mempertaruhkan nyawanya. Karena mereka terlahir untuk mengantarkan. Seperti slogan dan iklan-iklan FedEx, terutama iklan televisi yang juga beredar di Indonesia, di masa itu; “We live to deliver”.
Belum lagi jenis media yang menyerupai media yang sudah ada. Yang paling murah adalah media cetak. Majalah Free! Yang dikeluarkan oleh Plaza Senayan tercatat sebagai free-magazine pertama di Indonesia. Berlembangnya teknologi komunikasi membuat varian media semakin banyak. Berita semakin cepat datang, semakin banyak terpampang dalam media, masyarakat pun menjadi selektif. Karena jika tidak, seperti kata Ana Nadhya Abrar—dosen komunikasi UGM, kita bisa tenggelam dalam lautan informasi.

Solusinya. Media segmented pun merebak. Media tentang fashion punya banyak varian tersendiri, misal; fashion untuk yang berumur 17-25 tahun, untuk eksekutif muda atau untuk yang sudah mapan. Majalah kuliner pun juga tak kalah banyak, kuliner tradisional, kuliner internasional, kuliner Cina, kuliner Eropa dan sebagainya. Majalah rekreasi pun ada banyak macamnya; rekreasi ke hutan, rekreasi ke laut, tentang gunung, rekreasi untuk orang yang duitnya cekak atau rekreasi edan-edanan! Semuanya punya segmennya sendiri. Medianya punya karakter, audiensnya jelas baik dilihat dari segi sosiografis, demografis, tingkat pendidikan atau strata sosial.

Media itu tak hanya memberikan informasi tentang suatu merek dimana media itu ada. Namun juga memberikan informasi lain yang secara tidak langsung mengarahkan pikiran audiens kepada sebuah merek yang sebenarnya menaungi media tersebut. Pengaruh yang dilakukan pun cuku halus, hingga anda sendiri tak akan menyadari bahwa anda sudah ada dalam pengaruhnya. Efeknya mungkin tidak akan seketika, namun pesan yang disampaikan sudah menelusup ke dalam otak kita. Hanya tinggal menunggu suatu pemantik saja untuk pesan yang sudah menelusup itu segera 'meledak'! Untuk mempengaruhi audiens secara lebih dalam dan intens. Mungkin jika anda melihat “sesuatu” anda akan berpikir sejenak dan mencoba menyelami maksudnya. Maka saat itulah pesan-pesan itu berterbangan ke otak anda tanpa anda sadari. Tak disangka, anda pun menjadi loyal terhadap suatu brand.

Media alternatif hanyalah salah satu cara untuk berkomunikasi. Setiap bentuk pmasaran haruslah didukung oleh jenis pemasaran lain. Anda tak akan memenangkan sebuah perang hanya dengan satu cara. Pasar/market adalah hal yang luas. Market adalah sebuah situasi yang tidak jelas, kabur dan seringkali menyesatkan. Tidak ada yang bisa 100 % menjamin suatu aktifitas bisnis dapat sukses di pasar. Ini satu hal yang menjadikan betapa berharga dan mahalnya nilai suatu aktifitas bisnis. Menghadapi medan resiko yang harus ditempuh seorang pebisnis bagaikan seorang pejuang memasuki medan pertempuran akan ber’tempur’ dan berjuang untuk mencapai hasil yang diinginkan. Seperti juga jenis iklan konvensional lain (iklan radio, televisi atau cetak), iklan media ini hanyalah salah satu saja. Diperlukan bauran pemasaran yang saling menyatu dalam tema/konsep yang sudah dipikirkan masak-masak dalam waktu lama. Kampanye periklanan yang up to date. Karena manusia selalu berkembang. 3 jam menonton televisi jarang dilakukan seseorang. 1 jam membaca koran pagi sudah terlalu lama. Sementara mereka lebih banyak hidup di jalanan dan bertemu orang-orang.

Karena keberkembangan budaya manusia. Pemasaran/marketing tak akan pernah mati. Seperti sebuah siklus, menurut pandangan saya, di masa depan advertising agency akan kembali ke “rumah”. Karena semakin mahalnya nilai kontrak untuk advertising agency maka setiap perusahaan akan kembali memiliki in-house agency sendiri-sendiri yang akan mejalankan pemasaran. Tentunya hal ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan.

Brosur, spanduk, baliho dan media konvensional lainnya sudah hadir lebih dari umur anda saat ini. Manusia dengan kebudayaannya akan selalu berubah. Selalu begitu, dan akan selalu begitu. Begitu pun dengan pola komunikasi setiap generasi manusia. Sebuah perumpamaan sederhana; saat kecil dan kita belum mengenal bahasa, kita menggunakan gestur dan suara untuk menyampaikan pesan, saat mengenal kata maka kita pun mulai menuangkan segala seuatu dalam cerita. Lalu kita akan mengenal tulisan, menulislah kita dalam berbagai hal, dan tulisan akan lebih kekal dari kata-kata lisan karena gaungnya akan lebih lama. Dari situlah mulai berkembang dengan mengenal kertas, lalu radio, televisi, internet. Dan udara pun semakin disesaki informasi.
Teringat saya pada kata-kata dalam salah satu seri film James Bond; “Jika kau akan mengasai dunia, maka kau harus menguasai media!” (nan)

Monday, February 04, 2008

Hamil




Gambar ini untuk teman saya semasa kuliah, namanya Tintin. Jangan keliru, soalnya teman saya ada yang namanya Titin. Bedanya hanya yang satu kelebihan "N" dan yang satu lagi dengan satu "N". Tak lama lagi dia akan melahirkan anak pertamanya.

Teman saya kuliah, Yudho. Kali ini bukan Yudho yang hamil, tapi istrinya. Juga akan melahirkan. Dia lupa sudah berapa bulan istrinya hamil. Kalo gak salah 4 bulan, namun bisa juga 5! katanya. Anaknya diperkirakan laki-laki dan dia sendiri sedang bingung mencarikan nama.

Satu lagi teman kantor saya yang hamil anak pertama. Fitri. Pada taruhan kalau anaknya akan lahir cewe. Malah mereka sudah menyematkan nama pada si jabang bayi. Mawar! Si ibu pun tak terima, kali aja anaknya cowo. Eh.. bener! "Jangan panggil lagi anak saya "Mawar" ya! Panggil dia dengan nama "Baron"!"


Buat para calon ibu...

Ini hadiah saya buat buah hati kecil kalian ya....