Sunday, April 15, 2007

Surat untuk TUHAN

(Dari sebuah cerita lucu yang sering beredar di kampus-kampus)

Hai…

Selamat pagi Tuhan.

Bagaimana kabar Tuhan? Apakah Tuhan baik-baik saja? Pasti baik-baik saja. Kabar saya tidak baik-baik saja. Sejak kios saya, yang sekaligus tempat tinggal saya bersama keluarga, diratakan dengan tanah dua hari yang lalu saya tinggal bersama kerabat istri saya. Kerabat istri saya mau menerima kami, tapi tidak tahu kenapa, sejak saya tinggal di sini mereka sepertinya tidak mau lagi tersenyum kepada kami. Istri saya menjadi sering marah, lalu anak kami masih terlalu kecil. Dia masih suka bermain dan tidak tahu apa yang sudah terjadi pada kami.

Saya…

“Mas! Mbok ya sudah!” bentak istri Tono dari ruang lain yang hanya tersekat tripleks, membuat ia tersentak dan menghentikan gumammannya saat menulis surat. “Apa kalo berdoa terus rejeki bisa datang tiba-tiba jatuh dari langit?!”

“Aku tidak sedang berdoa! Aku sudah lagi tidak berdoa! Aku lagi nulis surat!”

“Surat? Surat buat siapa?” Sambil membenahi pakaian kotor yang akan dicucinya beranjak ke ruang lain. Ruangan Tono menulis.

“Buat Tuhan!”

“Tuhan?! Whoallaah…. Pakne… pakne. Wong kok senengane nganeh-nganehi. Mbok sudah cari kerjaan sana. Kalo lagi susah saja, baru berdoa sampai sarungnya sobek kayak gitu itu.!. Apa kita mau nginep di sini terus? Anak kitakan masih kecil. Nggelidhikke wae setengah modiar…” istri Tono terus mengomel sekan tiada akan pernah berhenti.

Tono kembali meneruskan suratnya. Mengacuhkan istrinya yang masih mengomel di belakang sambil membenahi pakaian kotor, lalu mulai keluar. Kata “Saya” yang sepat ditulisnya sudah lupa ia akan diteruskan dengan kalimat apa. Coba dihapusnya sebisa mungkin dengan tangan, membuat kertas itu jadi kotor.

Maaf Tuhan. Istri saya tadi ngomel lagi.

Oh iya. Tadi saya mau cerita tengtang kios saya. Saya tidak tahu mengapa kios saya dan kios teman-teman yang lain digusur. Sebuah universitas di pinggir selokan mau melebarkan dirinya. Katanya itu mengganggu pemandangan. Harus dibersihkan. Padahal saya dan keluarga mandi setiap hari. Memang Joko, anak saya, suka susah dimandikan. Kadang saya harus main kejar-kejaran dengan dia yang sudah telanjang bulat.

Sekarang di rumah kerabat istri saya. Kami merasa tak enak dengannya. Rumahnya jadi tambah sempit dengan adanya kami. Maka saya bermaksud membuat kios lagi untuk dijadikan tempat tinggal dan membuka usaha Afdruk Foto hitam putih.

Tuhan. Maaf, saya tidak lagi berdoa kepada-Mu, tapi menulis surat kepada-Mu. Karena tak tahu lagi kemana kau harus mengadu. Penderitaan saya sekarang semakin berat. Saya harus memberi makan pada istri dan anak saya. Untuk itu sudilah kiranya Tuhan memberikan bantuan kepada kami. Kami hanya minta uang satu juta saja Tuhan. Untuk membangun kios dan usaha saya.

Semoga Tuhan mau membantu.

Hormat saya

Tono Rintono MS

Tono lalu melipat selembar surat dan memasukkannya ke dalam amplop putih dengan garis-garis tebal pendek di pinggirnya berwarna biru, putih, merah saling berseling. Tak lupa ia menutup amplop itu dengan menjilati salah satu pinggirnya agar dapat ditempel. Lalu menuliskan alamat;

Kepada

Tuhan

Di Surga

Juga alamatnya sendiri yang masih mendompleng di rumah kerabat istrinya itu.

“Ya Tuhan, akau tidak tahu apakah ini sampai atau tidak. Dan apakah perangko 1000 ini cukup mengantar surat ini?” kata Tono dalam hati.

***

Seorang anak kecil yang masih cukup basah berlari masuk ke ruang di mana Tono baru selesai menulis surat. Sementara istrinya berteriak-teriak memanggil anak itu.

“Heh! Joko! Jangan lari-lari dulu! Ayo andhukan, terus pake pakaiannya! Joko…! He Joko…!”

“Hiya! Ketangkap!” tiba-tiba Tono menangkap tubuh mungil itu dari larinya. “Hayoh pakaiannya dipakai dulu. Kalau nggak bersih, nanti kamu juga tak gusur…! Tak kintung kintang kintung, anakku sing bagus dhewe!” sementara si anak tertawa-tawa dalam gendongan bapaknya.

***

“Naaa… beginikan jadi bagus. Wah, nggantheng ya anake bapak.!” Kata Tono.

“Itu apa pak?” Tanya Joko yang matanya tertuju pada surat di atas meja.

“Ooo… bapak minta tolong ya Jok! Nanti poskan surat ini. Tahukan? Di depan gang itu kan ada kotak oranye, nah di kotak itu ada lubang yang panjang. Masukkan saja surat ini ke dalam situ! Bapak tak mandi dulu biar nggantheng kayak kamu, trus bisa cari kerja”

“Surat itu apa pak?”

“Surat itu jika kamu ingin mengatakan atau mengungkapkan sesuatu kepada orang yang jauh, kamu bisa menuliskannya di atas kertas dan mengirimkannya.”

“Ooo… Surat ini buat siapa pak?”

“Tuhan.”

“Tuhan itu siapa pak?”

“Tuhan itu mmmm… Tuhan itu… “orang baik”!”

“Tuhan memangnya tinggalnya jauh ya?”

“Tuhan ada di surga.”

“Surga itu di mana?”

“Di sana! Di atas sana!” sambil menunjuk ke atas.

Joko mendongak ke atas mengikuti arah telunjuk bapaknya. Ia sepertinya sedang berpikir keras.

“Kalau Tuhan tinggal di genteng, kenapa saya harus pergi ke depan gang dan memasukkan surat ini di kotak oranye? Bapak bisa pinjam tangga dan memberikannya sendiri kepada-Nya. Saya takut kalau naik genteng nanti dimarah simbok!”

“Heh…he… bukan di atas situ. Begini saja, Joko tahu kalau Joko anak yang hebat?”

“Joko anak yang hebat!” ulang Joko penuh semangat.

“Nah… sekarang masukkan saja surat ini ke kotak oranye itu!”

“Baik pak!’

“Karena Joko adalah anak yangggg…”

“… Hebat!!”

Joko turun dari kursi dan berlari keluar dengan riang gembira.

Tapi tak lama kemudian Joko kembali kerumah sambil terpincang-pincang. Dengan wajah lugu dan tampang yang tanpa dosa dia berkata.

“Pak! Joko menginjak tahi ayam.”

Kontan saja, simboknya yang kebetulan lewat di situ langsung ngomel lagi.

Whoalaahhh bocah! Wis siram, bagus-bagus kok ya ngidhak telek! Ayo wijik. Cuci kakinya biar bersih!” ajak ibunya.

“Eh tapi awas! Suratnya jangan sampai basah!” Teriak Tono pada istri dan anaknya.

***

Tangan kecil meraba-raba pada lubang kotak surat. Surat yang agak basah di beberapa bagian itu pun akhirnya masuk juga. Joko merasa gembira bisa memasukkan surat itu, pasti bapaknya akan senang. Tapi yang membuat dia heran adalah, bagaimana mungkin surat itu akan sampai pada orang di lain tempat. Sedangkan surat itu sekarang ada di dalam sana. Apakah benda ini yang akan mengatarkannya?

Ia meneliti kotak surat itu. Barangkali ada saluran yang menghubungkan kepada Tuhan di atas sana. Tapi ia tak menemukan. Hanya empat besi baja yang menopang kotak surat oranye yang sudah agak berkarat itu. Dia mengambil beberapa batu besar dengan susah payah dan menumpuknya hingga ia bisa berdiri dan melihat ke dalam lubang panjang kotak itu. Ternyata lubang itu tertutup. Tapi dia berusaha mengintipnya. Atau berteriak.

“OOOIIIIIII…!” menggebuk kotak itu dan memanggil. “Tuhaaannnn…!”

ia memandang ke atas. Ke langit yang mulai siang dan cerah.

Ia masih tak habis pikir. Mungkin kotak ini akan terbang ke atas sana, ke tempat Tuhan. Bagaimana bapaknya bisa kenal Tuhan? Apakah Tuhan itu adalah bagian dari keluarganya? Siapakah Tuhan itu? Apakah bapaknya bisa terbang untuk bertemu Tuhan?! Dan sekarang masih cukup pagi untuk terbang?

Ia lalu memutuskan utuk bersembunyi. Siapa tahu kotak itu malu untuk terbang karena ada dia yang menunggunya di situ. Lama ia bersembunyi. Setiap kepalanya menyembul, kotak oranye itu masih berdiri ditempatnya. Dia lalu menghampiri kotak itu lagi.

“Ayolah kotak! Terbanglah! Antarkan surat bapak kepada Tuhan!”

Kotak surat masih diam saja dipinggir jalan, ditengah panas.

“Terbang! Terbang! Kau harus terbang!” Teriak Joko sambil memukul-mukul bagian bawah kotak itu hingga menimbulkan suara yang berisik.

Sebuah mobil box warna oranye berhenti. Seorang keluar dan berteriak pada Joko.

“Hei! Jangan kau pukul-pukul kotak itu!”

Joko yang masih memukuli kotak itu kaget setengah mati melihat orang yang berteriak kepadanya. Spontan saja ia lari dan bersembunyi di tempatnya tadi. Sementara petugas pos membuka kotak oranye dan mengeluarkan benda di dalamnya, mengganti dengan yang lain.

Joko semakin bertanya-tanya. Siapakah dia? Maka dia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan mendekati petugas itu.

“Saya tadi memasukkan surat bapak saya.”

“O ya?”

“Apakah bapak Tuhan?”

“Tuhan?!” petugas itu terheran dan menoleh ke sekelilingnya. “Saya petugas pos nak! Tuhan ada di atas sana. Sedang mengawasi kita!”

Lalu petugas itu pun pergi dengan mobil boxnya. Menghilang di keramaian. Joko semakin kagum dengan Tuhan. Tapi masih banyak pertanyaan yang menurut Joko harus dijawab.

Mengapa Tuhan bisa di atas sana?

Joko mendongak ke atas. Ekspresi silau ada di wajahnya karena matahari sangat terik. Ia lalu duduk di kolong kotak surat itu.

“Tuhan! Sekarang Kau tidak bisa mengawasiku. Aku sedang bersembunyi!”

***

Puluhan box bertumpuk di kantor pos. Usai dikeluarkan dari mobil box yang mengambilnya dari kotak-kotak surat di pinggir-pinggir jalan, surat yang ada di dalamnya akan dikeluarkan dan dikumpulkan untuk di sortir. Memilah dalam wilayah dengan kode-kode yang sudah ditentukan.

“Ratman!” teriak petugas pengawas pada salah seorang. “Satu lagi kantong untuk kau sortir. Sebagai pegawai baru, ini adalah ujian untukmu. Kerjakan dengan baik!”

“Ya! Baik pak!” balas Suratman.

“Su” dalam bahasa Jawa artinya “baik”, namun ia tidak tahu apa artinya “Ratman”. Katanya orang Jawa dalam memberi nama, adalah suatu doa. Kini ia tahu apa keinginan orang tuanya setelah ia diterima kerja di kantor pos. Kakaknya mendapat nama Wakiman, sekarang ia bekerja di bagian pengemasan pabrik elektronik, khusus mengemas radio-tape yang kecil. Belakangan ia tahu, radio-tape kecil itu ternyata sering disebut “Walkman”. Namun yang tak habis pikir adalah adik perempuannya. Namanya Rosilawati. “Ros… Rosi… Ros… Si… La… Wati” ia tetap bingung artinya, tapi ia masih berpikir kenapa adiknya itu sekarang bisa bekerja di toko bunga.

***

“Semarang… Jakarta… Bandung… Jogja… Jogja lagi… Jakarta…” Suratman memilah surat berdasarkan kota. “Makasar… Sorong… Surga… Sura… … Surga? …Surga!!” Suratman kaget melihat sepucuk surat yang masih agak basah di salah satu ujungnya. Surat itu ditujukan dengan alamat yang sangat pendek “Kepada Tuhan di Surga”.

“Maaf!” Seorang petugas menaruh beberapa surat lagi di karung Suratman. “Ini tadi harusnya ikut dalam kantungmu. Ratman… Ratman…?” ia mendekatkan diri kepada Suratman yang masih terdiam. “Sebaiknya kau lebih cepat mensortir suratnya. Surat-surat itu harus segera sampai tujuan!”

“Surga?... Sampai tujuan?” kata Suratman sedikit bergumam. “Kau tahu di mana Tuhan?” Tanya Suratman pada teman sebelahnya yang juga sedang mensortir surat.

“Tuhan?” kini ada dua orang terheran-heran dalam ruangan itu. “Kenapa? Kamu sedang ada masalah dengan kehidupan spiritualmu?”

“Kamu tahu surga ada di mana?”

“Sudahlah! Kalau mau khotbah jangan di sini! Aku sedang sibuk. Sebaiknya kau selesaikan juga pekerjaanmu!”

Suratman menjadi salah tingkah. Ia melihat sekeliling, seperti sedang memeriksa sesuatu. Lalu ia memasukkan surat itu ke saku bajunya dan melanjutkan pekerjaannya.

***

Motor-motor berwarna oranye hampir semuanya sudah berisi penuh surat-surat yang akan diantar sampai ke tujuan. Beberapa tukang pos bahkan sudah ada yang berangkat. Suratman menghampiri salah satu tukang pos yang sedang memasang helm.

“Pak… Pak!” Kata Suratman. “Apakah ada surat lain yang akan diantarkan ke surga?”

“Hah! Apa maksudmu?” Kata tukang pos itu terheran-heran.

“Maukah mengantarkan surat ini?” Sambil menyodorkan surat yang ditemukannya tadi.

Tukang pos itu membaca alamat surat itu. Walaupun tulisan alamat pendek, tapi ia membaca surat itu berulang-ulang. Mobolak-balikkan surat itu. Membaca nama pengirimnya. Lalu kemudian ia tertawa lebar.

“Hah…ha…ha…! Pasti dia bercanda! Tidak-tidak. Aku tidak mau mengantarkannya. Aku masih ingin menikmati dunia ini. Kembalikan saja suratnya! Alamatnya tidak jelas!”

“Tapi pak, bukankah semua surat ini harus sampai?”

“Iya! Tapi bukan yang itu. Harusnya tak perlu menulis surat kepada-Nya. Atau kau mau mengantarkannya sendiri?”

“Surga di mana?”

“Jika kau ke sana. Kau tak akan kembali lagi!”

“Kenapa?”

“Tempat yang selalu senang. Tak ada kesedihan. Tak ada orang jahat. Tak ada kata sengsara. Ah… sudahlah! Aku harus mengantar surat-surat ini. Sampai jumpa!” Pak pos itu lagi menderu dengan motornya, melaju dan menghilang di tikungan gerbang kantor pos yang besar.

“Tempat yang selalu menyenangkan?” gumam Suratman. “Kenapa membosankan sekali kedengarannya.”

***

“Lha nggak bisa donk dik Ratman!”

“Wah, terus bagaimana dengan surat ini pak Polisi? Surat ini kan harus sampai ke tujuannya.”

“Gimana ya? Saya juga belum pernah pergi ke sana jhe. Alamat pengirimnya juga ndhak jelas. Tapi coba akan saya tanyakan pada seluruh anak buah saya. Siapa tahu ada yang tahu.”

Pak Kepala Polisi lalu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk berkumpul. Mencoba memusyawarahkan tentang bagaimana selanjutnya nasib surat yang di bawa Suratman.

Ruang Kepala Polisi yang berhawa dingin karena ada sebuah Air Conditioner dipasang di dinding. Beberapa prajurit Maba yang botak kelihatan lega setelah memasuki tempat itu, peluhnya segera di usap dengan tangan. Namun para Reserse yang berpakaian preman tak mempunyai masalah dengan tempat itu, mereka sepertinya sudah akrab dengan hawa dingin buatan itu.

“Jadi bapak juga tidak berani membuka suratnya?” kata seorang Sertu.

“Tidak bisa. Dari pihak kantor pos sendiri juga harus menjaga privacy pengirim dan yang dikirimi surat. Begitu tho dik Ratman?”

Inggih!

“Sebentar akan saya lihat dulu!” kata Kepala Serse. “Beri saya waktu 5 menit!” lalu Kepala Serse dengan pakaian santai itu membolak-balik surat itu. Sementara semua menunggu apa yang akan terjadi.

“Tak dapat dipungkiri. Ini adalah sebuah surat!” lanjut Kepala Serse.

“Heh… Saya sudah tahu.” Kata Kepala Polisi.

“Suratnya basah!” balas Kepala Serse.

“Bapak harus membukanya! Saya kira ini penting untuk kelanjutannya nanti.!” Kata suara yang ada di tengah.

“Iya, sebaiknya suratnya dibuka saja!” Balas yang lain.

Ruangan menjadi riuh rendah dengan suara-suara. Kebanyakan mendesak Kepala Polisi untuk membukanya.

“Ini sulit. Gimana dik Ratman?”

“Tapi pak…” Suratman lama berpikir. Memandangi seluruh manusia yang berkumpul di ruangan yang kecil itu. Semuanya menunggu. Hawa dingin dari AC sudah lagi tak terasa, terkalahkan oleh suhu tubuh seluruh orang di situ. “Baiklah pak, kalau itu membuat semuanya jadi jelas.”

“Heh…” Kepala Polisi menghela napas, memandangi lama surat yang agak kusut dan lecek itu tergeletak di meja. “Kopral! Bukalah surat ini!”

Ternyata Kopral masih punya bawahan lagi. Maka ia menunjuk bawahannnya untuk membuka surat. Lama bawahan itu ditunggu. Lalu keluarlah seseorang yang mengenakan masker kain di mukanya.

“Kamu yang akan membuka surat ini?”

“Siap pak! Iya pak.”

“Mukamu cukup aneh untuk membuka surat.”

“Siap pak! Saya takut ini adalah surat dari Timur Tengah yang nyasar ke sini Pak!”

“Baiklah. Buka saja suratnya!”

Seorang Maba di belakang berbisik pada teman di sebelahnya.

“Apa maksudnya surat dari Timur Tengah?”

“Ssstt… Anthrax!”

“Anthrax?!”

***

Bapak Kepala Polisi menunjukkan wajah yang sedih setelah membaca surat itu. Beberapa kali ia mengusap wajah dan menghela nafas panjang. Setelah berpikir aga lama ia berkata.

“Heh… menyedihkan surat ini. Coba kalian baca sendiri!”

Lalu surat utu berpindah dari tangan ke tangan. Membuat surat itu bertambah kusut. Banyak orang yang setelah membaca surat itu menampakkan kesedihan yang mendalam. Suasana menjadi begitu sedih di ruangan itu. Sampai tibalah surat itu di tangan salah seorang staf Serse.

“Lihat! Beberapa kata di sini sudah luntur karena air.”

“Iya. Mungkin saja itu air mata yang menetes ketika ia sedang menulis.” Celetuk yang lain.

“wahh… pasti dia menulis sambil menangis.”

“Bisa saja istrinya sedang mendikte suaminya sambil menggendong anaknya. Si istri menangis mengenai anaknya. Anaknya juga menangis mengenai bapaknya. Bapaknya juga menangis. Jadi air matanya akan banyak sekali.”

“Sampai dia tidak punya kertas lagi untuk menulis.”

“Lihat! Bahkan dia tidak punya setip[1]!”

Ruangan kembali ramai oleh banyak pendapat. Namun Kepala Serse kembali menengahi pembicaraan yang ramai itu.

“Stop! Jangan berprasangka dulu. Kita menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Mungkin saja itu adalah air liur!”

“Ini adalah surat untuk Tuhan. Ada yang tahu di mana Tuhan tinggal?”

“Saya tidak tahu.”

“Setahu saya Dia bisa tinggal di mana saja.”

“Kata orang rumahnya luas.”

“Saya belum pernah ke tempat Tuhan.”

“Tuhan? Siapa Dia?”

“Selebritis ya? Wah ga pernah nonton tivi aku!”

Suara bersahutan kembali terdengar. Ruangan kembali menjadi ramai. Semua saling bertanya dan menjawab.

“Kita semua tidak tahu di mana Tuhan tinggal.” Kata Kepala Polisi. “Jadi begini saja. Saya perintahkan kita menyumbangkan sedikit uang kita untuk orang yang menulis surat ini! Semua yang di sini harap menyumbang walaupun hanya sepeser. Ini perintah! Polisi prihatin dengan orang tersebut. Kini kumpulkan uang kalian. Saya juga akan menyumbang!”

Semua merogoh saku yang ada di pakaiannya. Beberapa mengeluarkan dompet. Suara gemerincing uang terdengar saling bersahutan. Beberapa saat kemudian, meja Kepala Polisi di penuhi uang. Tersebar dari mulai uang receh samapi kertas puluhan ribu. Beberapa prajurit bawahan menghitung uang yang kebanyakan sudah lecek.

“Siap pak! Semuanya ada enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus dua puluh lima rupiah pak!

”Baru segitu?”

“Siap pak! Saya menemukan dua keping receh lagi pak! Semuanya jadi enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah pak!

“Baiklah. Kita memang bukan Tuhan. Tapi saya rasa jumlah ini akan menenangkan orang ini. Kita akan mencari alamat orang ini dan menyerahkan uangnya. Masukkan uangnya ke dalam amplop!”

***

Para polisi itu keluar dari ruangan yang sudah menjadi panas itu. Semuanya menghela nafas setelah dapat menghirup udara luar yang segar. Namun hal itu tak berlangsung lama setelah nafas mereka sudah menyesuaikan diri, dan bau karbondioksida terhirup. Tak hanya itu, ada satu hal yang membuat Kepala Polisi kaget. Dan hal itu pula yang menyebabkan mengapa bau karbondioksida terasa begitu kerasnya.

“Siapa suruh kalian meniggalkan tugasnya!” teriak Kepala Polisi mengagetkan semua. “Kembali pada tugas kalian! Saya hanya pergi dengan beberapa perwira saja. Mereka sebenarnya butuh kita. Sekarang lihat apa yang kita perbuat!”

Jalan di depan Polsek itu sudah penuh dengan kendaraan yang semrawut. Bis-bis dengan asapnya yang hitam, taksi dan mobil pribadi saling membunyikan klakson. Motor-motor menggeber-geber dan menelusupi celah-celah mobil yang membahayakan para penyeberang jalan yang sedang menyeberang sembarangan. Lalulintas jalanan benar-benar kacau saat itu.


***

“Selamat sore!” kata Kepala Polisi. “Betul ini tempat tinggalnya saudara Tono yang sekarang?”

Tono yang masih memegang gagang pintu kaget bukan kepalang. Tiga polisi bertubuh tambun ada di hadapannya. Apalagi sepertinya pangkat mereka sudah lumayan tinggi. Dia bingung dan berpikir kacau. Apalagi yang akan terjadi. Dua hari lalu kiosnya hilang. Sekarang ada polisi di sini. Pikiran-pikiran buruk tentang polisi yang ada selama ini ada di benak Tono bermunculan. Kali ini malah lebih gila. Ia menjadi gugup.

“Eh… i… anu… ehm…”

“Tenang saja Mas. Kami hanya mampir. Anda yang bernama Tono seperti di surat ini?” sambil menunjukkan bagian belakang surat yang lecek, si atasnya tertulis nama dan alamatnya. “Boleh kami masuk?”

“Oh… eee… mampir… uh… eh… iya. Ma… mari… silakan!”

Kali ini semakin rumit apa yang ada dalam otaknya. Persis seperti kata orang; manusia adalah jiwa-jiwa yang katakutan. Kali ini kalimat itu benar-benar mengena dalam diri Tono. Apa yang salah dengan dirinya. Apakah karena ia mengirim surat pada Tuhan? Kenapa suratnya jadi nyasar ke polisi? Apa yang akan terjadi nanti?

“Kelihatannya anda masih muda.” Kata Kepala Polisi. “Jadi begini dik Tono. Kami kesini ini bermaksud memberikan titipan dari Tuhan!”

Kelihatannya dari seluruh waktu hidup Tono. Detik ini yang membuatnya paling kaget. Kaget yang tak terkatakan. Untung saja jantungnya masih kuat. Hanya karena jantungnya berdegup terlalu kencang yang membuatnya menjadi pingsan!

Dua perwira Polisi yang sedari tadi mengamati ruangan sempit itu kaget juga melihat Tono jatuh pingsan. Istrinya segera menghambur ke arah tubuh Tono yang sudah terjerembab di kolong meja. Polisi saling berpandangan. Sementara Joko, dengan wajah tanpa dosanya yang masih tak tahu apa-apa, memandangi polisi yang saling berpandangan itu.

Ooalaah Pakne… pakne… kok malah semaput. Ini tadi diapain tho?” teriak istrinya.

“Maaf! Apa ada yang salah dengan kata-kata saya?” kata Kepala Polisi.

***

Pandangan Tono masih kabur. Ia mencoba tersenyum walupaun sepertinya ia masih belum sadar betul.

“Heh… maaf!”

“Tak apa dik. Ini dik Tono surat yang anda kirim. Dan ini uang yang anda minta. Kami hanya melakukan tugas.”

“Ehmm… iya… terimakasih.” Kata Tono yang masih dalam kebingungannya dan menerima amplop yang terdengar bunyi gemerincing uang dan agak berat itu.

“O iya dik Tono. Nama dik Tono ini “Tono Rintono MS” kenapa ada banyak kata “Tono” di situ?”

Mendadak Tono mejadi sehat kebali dengan pertanyaan itu.

“Oh… bukan… bukan saya pak. Orang tua saya yang memeberikannya pada saya. Bapak saya Jogja, ibu dari Jawa Barat.”

“Ooo begitu.” Kepala Polisi megangguk-angguk, mengerti kenapa namanya berulang. “Lalu MS-nya apa?”

“Martono Sartono Pak!”

Pa’e. ini surat yang tadi pagi saya masukkan kotak di depan sana!” Teriak Joko sambil menunjuk surat di atas meja. Ia kenal betul dengan surat itu, walaupun sudah sobek di salah satu sisinya.

“Cuma, kotaknya tak mau terbang!”

“Terbang?” sahut semua yang di ruangan itu.

“Iya. Terbang ke tempat Tuhan. Tapi kenapa bisa dibawa bapak-bapak yang memakai topi pak? Apakah mereka Tuhan?”

“Hehe… anak dik Tono ini lucu.” Kata Kepala Polisi. “Dan kelihatannya juga pinter. Siapa namanya?”

“Joko pak.” Jawab Tono. “Joko Sarjoko MN.”

***

“Wah banyak sekali uangnya. Minta satu ya pak!” kata Joko.

“Jangan! Sedang dihitung dulu.”

“Nah, pakne. Jadi semuanya enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah.”

“Hah… hanya segitu?”

“Kok hanya segitu! Harusnya kita berterimakasih ada orang yang tiba-tiba saja mau ngasih duwit. Pakne ini gimana tho. Kok malah menyepelekan!”

“Baiklah. Maaf. Tapi benar dugaan saya.”

“Dugaan? Dugaan yang mana?”

“Ah… sudahlah. Sebaiknya kita berdoa untui berterimakasih pada Tuhan.”

“Ooo uang ini dari Tuhan ya Mak? Ya pak?” kata Joko.

“Kurang lebih begitu.”

“Tuhan itu tiga bapak tadi ya pak?”

“Itu bukan Tuhan. Itu polisi.”

“Kenapa tidak Tuhan sendiri yang memberikannya pak? Kenapa Tuhan menitipkan pak polisi?”

“Itu yang akan bapak tanyakan di doa bapak nanti. Tapi tahukah nak; Tuhan bekerja dengan cara yang misterius!”

“Sudah le. Ayo kita berdoa.” Sahut ibunya.

Lalu mereka pun menganggkat kedua tangan. Hal itu menarik perhatian Joko. Semula Joko mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Namun apa yang dilakukan kedua orang tuanya benar-benar mengusiknya untuk ingin tahu. Ia heran mengapa mereka mengangkat tangannya seperti sedang meminta sesuatu? Kenapa wajah mereka tengadah? Apa yang mereka pandang? Ada orangkah di atas atap? Ada sesuatukah yang mereka pandang.

“Ya Tuhan…” Tono mulai berdoa.

“Bapak bicara dengan Tuhan? Di mana? Di mana Dia?” Joko menyahut.

“Ssssttt… cobalah tenang jika sedang berdoa!”

Joko pun duduk kembali sambil memandangi kedua orang tuanya. Sementara orang tuanya berdoa. Joko masih sibuk dengan banyak pertanyaan dalam dirinya. Ia bangkit dari duduk. Ia memandang ke arah yang di pandang kedua oarng tuanya. Sesekali menoleh ke arah mereka, lalu kembali memandang langit-langit rumah sambil berbisik.

“Hei… hei… Kamu di situ?”

Joko mulai memandangi tangan-tangan tengadah itu. Mereka sedang meminta apa? Kenapa mereka meminta? Ia mempermainkan tangan-tangan pasrah itu. Mengambil beberapa receh uang dan menjatuhkannya ke dalam tangan-tangan itu. Sebagian jatuh menimbulkan suara gemerincing.

Kurang lebih begini doa Tono:

“Ya Tuhan, terima kasih Kau benar-benar memberikan apa yang aku minta. Mungkin jika besok aku meminta lagi kepada-Mu, janganlah dititipkan pada polisi. Lihatlah apa yang mereka lakukan dengan uang satu juta-ku. Tapi saya tetap berterimakasih, walaupun aku tak tahu kemana lebih sepertiga uangku itu…!”

***

Tono benar-benar memanfaatkan uangnya. Membangun sebuah kios afdruk foto kilat di tempat yang kini sudah disediakan pemerintah daerah. Jadi kecil kemungkinan digusur lagi. Joko tetap dengan segudang pertanyaannya. Bapak-bapak polisi gembira telah membantu rakyat kecil, walaupun hanya seorang. Dan kehidupan pun kembali normal!

Jogjakarta. 24 Januari 2004

Saturday, April 07, 2007

How Spicy are You? 2002



























3 Besar Lomba Iklan

Kategori
Public Service Announcement

Copywriter
Dhanan Arditya

Art Director
Dhanan Arditya


Yang mana yang menang?
nggak tauk!
Para jurinya malah bilang:
"menurutmu mana iklanmu yang menang?"

Menurut kalian mana?


(berantakan bener ngatur gambarnya sih!!!)