Wednesday, August 15, 2007

अस...


हस्स्स... एम्बुह... सक करेप्मू!!!!

Saturday, August 04, 2007

Joke Jakarta

Di sinilah Timbulsukoco. Batavia. Itu nama tempat ini dulu, sewaktu koloni Nederland masih bercokol di negeri ini selama tiga setengah abad. Tiga setengah abad! Edan! Tak pendek waktu seperti itu. Lebih dari tiga generasi. Beruntungnya kita. Paling tidak dari mereka yang tak pernah mengecap kemerdekaan. Biar bagaimanapun, terjajah punya rasa yang pahit. Akan selalu di bawah. Jadi budak. Jadi babu. Jadi orang asing di tanah sendiri. Di bawah tamu yang bermuka manis, lalu menikam dari belakang. Diinjak hingga rata. Diperas sampai kering. Merdeka, biar terseok tapi punya harga diri. Mencoba berdiri dengan kaki sendiri. Hasilnya terasa lebih manis. Hanya saja banyak yang terlena. Tak terduga, penjajahan gaya baru sedang berlangsung.


Batavia. Nama pemberian dari bangsa Belanda itu. Yang mengaku asli dari kota ini menyebutnya sebagai Betawi. Entah karena perbedaan jenis lidah atau sekedar penyederhanaan saja. Lidah yang terpleset, dari Batavia menjadi Betawi. Nama Betawi masih saja terdengar hingga hari ini. Fatahillah pun memberi penamaan yang lain bagi kota ini, jauh sebelum nama Batavia ada. Jayakarta. Yang lagi-lagi berubah juga menjadi Jakarta.


Bosan si Timbul dengan kota ini. Tak pernah dia berpikir akan berada di kota ini. Walaupun banyak orang berusaha datang ke sini. Mengadu nasib dan peruntungan. Apa menariknya? Dari loteng tempat dia kos saja jarak pandangnya tak begitu jauh. Tertutup asap polusi kota yang kian hari kian menumpuk. Mengancam masa depan yang harusnya dipupuk untuk dipanen di saat yang tepat. Sejauh mata memandang semua benda mati terpancang-pancang angkuh menyangga langit. Menyembul dari kesumpekan yang ada di bawahnya. Sombong sekali dia! Awan pun bakal tersangkut saking tingginya pancang langit itu. Tempat bermain yang menyenangkan jika Spiderman ada di sana. Tapi pasti Aladdin akan ketir-ketir jika permadani terbangnya ngebut di sini. Menghindar ke kiri dan ke kanan. Huh… gedung-gedung itu. Tak pernah bergerak barang sesenti pun. Julang menjulang menantang langit. Di dalamnya banyak manusia saling berpacu. Berlomba. Seakan ada setan yang mengejar di belakangnya tiap hari.


Dari loteng sini hanya pepohonan saja yang terasa hidup. Bergoyang diterpa angin. Diancam polusi. Belum lagi mata gergaji jika si pohon sudah dirasa mengancam jiwa yang ada di bawahnya. Pohon. Jumlahnya pun tak lebih banyak dari pohon di pekarangan kakek Timbulsukoco di Prambanan. Rindu dia dengan suasana desanya. Biar dibilang ndeso. Biar dibilang medhog. Biar dibilang ketinggalan jaman. Dia bangga dengan kotanya sendiri. Bangga dengan medhog-nya. Biara tambah puas mereka menyebutnya “Jawa”! Bukan chauvinis. Dia hanya merasa tak banyak lagi yang memikirkan kotanya. Sebagai rumah tempat dia tinggal. Tempat suatu saat dia akan pulang. Berkumpul lagi dengan masa lalunya. Tak banyak lagi yang peduli dengan kotanya, apalagi dengan negeri ini. Kotanya sudah ditumbuhi mal. Hampir-hampir tercerabut akar budayanya. Manusianya sudah merasa populis. Bicara dengan logat “Lu” atau “Gue”. Bahkan rajanya pun sudah terkesan matre dan gila kekuasaan. Bisa jadi pepohonan dipekarangan neneknya itu akan menyusul di kemudian hari. Menggusur naungan anak-anak kecil yang bermain di bawahnya.


Aiii… kota yang gagah. Batavia. Jakarta. Ramai di siang hari. Gemerlap di malam hari. Denyutnya kencang macam manusia yang kena jantung. Disedotnya semua anak negeri ke kota ini. Ribuan mimpi berdatangan tanpa dipanggil. Tak banyak yang berhasil meraihnya. Betapa sayangnya. Negeri ini amat kaya. Negeri ini amat luas. Sayang jika hartanya hanya dikumpulkan di satu tempat.

Negeri ini amat indah. Saking indahnya, banyak orang tertarik padanya. Ingin mereka datang ke negeri ini. Gunung gemunungnya berwarna-warni mirip karpet bikinan Istambul. Malah lebih indah. Sayang, bayak yang dibakar. Mungkin mereka ingin bikin motif yang baru. Jika katulistiwa ini adalah sebuah cincin bagi bumi ini, maka negeri ini adalah mahkotanya. Zamrud yang indah. Bikin bangga orang yang memakainya. Bikin iri orang yang melihatnya. Kilaunya gilap gemilap diterpa cahaya. Nampak cantik. Amboi... negeri yang indah. Pantas saja negeri lain pada iri dibuatnya. Sampai-sampai mereka mengeluarkan Travel Warning!


Travel Warning
berbahasa Inggris British. Berbahasa Inggris Amerika. Timbul tak tahu apakah yang dari Australia memakai bahasa Aborigin atau bukan? Mungkin mereka masih berbahasa orang buangan. Pesakitan dari seluruh British Commonwealth.

"Hai kalian semua! Janganlah kau datangi negeri Indonesia! BERBAHAYA! Karena terlalu cantik! Terlalu indah! Nanti kalian malah jatuh cinta padanya. Tak akan nanti kalian kembali kenegeri kalian. Jangan! Awas ya.... kalau saya bilang "Jangan" ya jangan! Kalau melanggar, kalian rasakan sendiri akibatnya! Biar saja negeri itu begitu. Biar mereka terbuai dalam keindahannya. Biar mereka tetap menghamba pada kita. Pada teknologi kita. Pada kemajuan kita. Lama kelamaan kan negeri itu akan jadi milik kita. Lihatkan! Tak lama lagi. Bahasa mereka saja sudah lama rusak. Mereka sendiri yang merusaknya. Lalu negeri itu milik kita. Oke!" Begitulah kira-kira isi Travel Warning itu.


“Timbul abis pulang dari Jawa ya?”
“Iya bu. Mudik sebentar. Kangen sama Jogja! Senin ini harus masuk lagi.”

Ke Jawa! Jawa! Duh… sombongnya!

Apa dia pikir Jakarta ini bukan di Jawa?

Apa pernah Ferdinand de Lezep pernah mampir ke Jakarta dan menggali sebuah terusan untuk memisahkan Jakarta dari Jawa? De Lezep memisahkan Afrika dengan Asia. Dibangunnya terusan Zues. Dengan memipil sedikit Mesir ke Afrika. Walau begitu, Mesir pun masih menjadi bagian dari Asia. Betapa sombongnya kata-kata orang itu. Dalam hati Timbul mengumpat. Jawa! Jogja ada di tengahnya, agak ke selatan. Dan Jakarta ada di, hampir, ujung sebelah Baratnya. Kita sama-sama di Jawa! JAWA! Pelecehan!


Jawa. Ya… Jawa.Dulu pulau ini punya budaya tinggi. Sebelum diinjak-injak para muka pucat dari Nederland. Salah satu negeri di Eropa. Yang daerahnya, kalau bukan karena memanfaatkan tenaga paksa dan hasil bumi dari Hindia, pasti sudah hilang ditelan laut. Tak ada Nederland dalam peta dunia! Tak ada! Neither Land!


Orang-orang Majapahit yang ada di Jawa pun sudah menaklukkan samudra ketika orang-orang Eropa masih belum mengenal pakaian dan tinggal jadi manusia gua. Jauh sebelum Bartholomeus Diaz atau Vasco da Gamma mengelilingi lautan. Namun tercatat pun tidak. Hanya tergambar dalam salah satu fragmen relief di Borobudur. Itulah sejarah. Selalu berpihak pada yang berkuasa. Selalu begitu. Dan akan terus begitu. Sejarah sangat subjektif. Para pahlawan hanya propaganda penguasa untuk mengukuhkan kekuasaan. Sekarang Baratlah yang berkuasa. Eropa. Amerika. Yang di Timur hanya menerima saja. Coba jika bangsa Cina dulu tak menemukan kertas. Mau bikin apa si Guttenberg! Coba dulu jika Richard si Hati Singa tak membakar perpustakaan besar di Baghdad. Sudah terseok-seok pula mereka sekarang mengikuti perkembangan teknologi orang-orang Asia! Dasar raja tak tau terimakasih! Harusnya Sultan Saladdin tak membantunya menyembuhkan penyakitnya.


“Ah… di sini lagi. Di kota ini lagi.” Desah Timbul. “Bosan!”

Belum setengah jam dia ada di Jakarta lagi, sudah kangen lagi dia dengan Jogja. Sebetulnya rasa kangennya dengan Jogja sudah ada sejak kereta beberapa senti mulai meninggalkan stasiun Tugu. Lalu melewati jembatan kereta Badran. Dapat dilihat di Selatan perempatan mencekung dengan guratan-guratan lampu berwana kekuningan. Mobil dan motor saling berseliweran (Sedikit ke Timur akan segera sampai Malioboro). Sesudah itu, pintu kereta Wirobrajan. Wah… diselatan sana ada rumah teman-teman. Tempat berkumpul dan bersendau gurau atau keluar malam-malam mencari makan di warung Angkring Lik Min. menikmati jahe panas gula batu dan beberapa camilan dan obrolan malam yang hangat. Lalu, Wates… dan Timbul pun meninggalkan Jogja. Makin penuh rasa kangennya. Pada kota kecilnya. Yang diharapkannya akan tetap kecil dan menjaga ke-ndes

oan-nya. Agar dia masih punya tempat untuk pulang.


Dulu waktu pertama kali ke kota ini. Dia hanya pingin tau, kenapa banyak orang ingin mendatangi Jakarta. Pertama kali dating dengan kereta ekonomi. Panas. Pengap. Biayanya dari uang patungan teman-teman kampus. Memang hanya cukup untuk kereta ekonomi pulang balik. Belum untuk transport mondar-mandir di sana. Timbul berdua dengan temannya yang lahir dan besar di Jakarta. Lalu kuliah di Jogja (akhirnya temannya sendiri jatuh cinta juga dengan Jogja. Tak mau dia kembali ke Jakarta). Kereta merayap lambat. Bahkan mogok di salah satu stasiun! Mogok selama dua jam! Dan akhirnya telat pula beberapa jam sampai di Jakarta. Tujuan mereka adalah mencari dana dari para alumni kampus untuk penerbitan media di kampusnya. Fisipol, Komunikasi UGM.


Kunjungan pertama itu ternyata tak begitu memikat. Jakarta ternyata tak seperti yang diomongkan orang. Tak betah juga dia di sana. Ditahannya rasa ingin pulang. Waktu seminggu. Hanya seminggu. Tujuh hari. Harus kuat. Dana belum terkumpul mencukupi. Media harus terbit. Mengharapkan universitas memberi dana sama saja mencubit raksasa. Mereka harus berjuang sendiri. Menghidupi dirinya sendiri. SPP cuman 225 ribu saja banyak minta! Diterima juga udah sukur. Di swasta, biaya per semester mahasiswa di sana bisa cukup untuk membayari kuliah Timbulsukoco… Hingga tamat!


—o0o—

Kleterk!
Timbul mencoba meluruskan persendiannya dengan memutar tubuhnya. Capek. Sekitar delapan jam duduk dalam kereta, menunggu sampai. Lebih cepat kereta ini, dari saat dia pertama kali naik kereta ke Jakarta. Sudah bisa beli yang ada AC-nya sekarang dia rupanya. Tapi tetap saja. Capek! Masih ada waktu barang satu setengah jam untuk meneruskan tidur.


Satu setengah jam berselang. Bangun tak langsung bangun. Masih terasa malas. Hari senin. Ke kantor lagi. Mencoba mengabdikan diri pada sebuah perusahaan dengan banyak intrik licik di dalamnya. Kantor. Kerjaan. Kata-kata itu terlalu serius saja buat Timbul. Kenapa ada kata “kantor” dan “pekerjaan” dalam kosakata bahasa Indonesia. Kenapa? Bikin penat saja. Kenapa pula J.S. Badudu memasukkannya dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Dalam pikiran Timbulsukoco sendiri dia mencoba membangun citra. Dia persepsikan. Kantor adalah tempat bermain. Dan pekerjaan adalah permainannya. Jadi mari bermain-main. Bangun dari tempat tidur! Lekas mandi! Sambut hari ini! Sehabis dari Jogja pasti Timbul bawa semangat baru. Mari lekas segera bermain.


Timbul pun bangun. Kembali memutar tubuhnya ke kiri dan kanan. Terdengar geletukan persendian yang longgar. Bangkit dia dari kasurnya. Menuju televisi yang jaraknya hanya selangkah. Dihidupkannya. Di pindah-pindah channelnya. Malah bikin bosen datang lagi. Menyesal dia menghidupkan televisi. Harusnya tak dihidupkan. Acaranya pagi-pagi selalu gossip! Tak ada yang lain! Acara televisi makin tak karuan!

Tampaknya mendengarkan Pizzicato Five atau Pink Martini akan membuat hari ini kembali menghentak!


—o0o—

Mari… mari sini. Biar diajaknya kau ke Jakarta. Di sini banyak bangunan tinggi, lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi di desamu. Yang mungkin suatu saat kau akan berada di dalamnya. Memanjatinya tiap hari dengan eskalator atau lift tanpa harus capek. Banyak tempat dan manusia lucu di sini. Kau pasti akan tertawa jika berhasil menyibak sisi lucunya. Tapi, jangan bayangkan di sini banyak pelawak. Pelawak betulan di sini tak lebih lucu dari pelawak-pelawak Srimulat. Mungkin karena beda budaya. Kau harus siap menghadapinya. Siap dengan budaya baru. Jika tak siap, bisa-bisa kau dianggap orang aneh di sini. Bikin orang lain ilfil (Ilang feelling). Lalu menjauhimu. Bahkan para wanita pun tak akan mau berdekatan denganmu jika kau masih bau kubis dapur atau rambutmu acak-acakan dan bau matahari.


Di sini juga banyak mal. Tempat belanja dengan benda apa saja di dalamnya. Beda dengan pasar Sambilegi yang dulu kau sambangi jika ibumu menyuruhmu mengantarnya belanja di sana. Di mal ini semuanya ada. Dari mobil hingga barang-barang bajakan. Pernah kau lihat ada orang menjajakan mobil di pasar Sambilegimu? Tentu tak pernah. Paling banter hanya mobil-mobilan. Digantung-gantung dengan plastik seadanya dipaku dalam bambu yang sudah hitam keriput. Itupun dengan kualitas nomor sekian.


—o0o—

Sewaktu jurusan tempat Timbulsukoco kuliah dulu melakukan studi banding ke perusahaan-perusahaan di Jakarta banyak hal lucu terjadi. Salah satu acaranya adalah pergi ke mal. Taman Anggrek menjadi sasarannya. Masuklah mereka ke sana. Heran! Seperti di Hong Kong saja. Sementara Timbulsukoco dan beberapa temannya yang lain di depan pintu Mal Taman Anggrek yang unik. Berputar. 360 derajat. Bentuknya, tentu saja bulat. Terbuat dari bahan tembus pandang. Ada bagian tertentu yang jika melewatinya, kita akan benar-benar terkurung barang setengah detik di dalam pintu itu.

Mereka terheran-heran melihat pintu itu. Berdiri berjajar memandangi pintu itu dimasuki orang-orang. Terbengong-bengong.

“Kita masuk saja!”
Wah… wedi aku!” (Wah… takut saya)
Aku yo ho oh!”
“Mengko yen pas awak dewe mlebu, trus lawange macet pas neng nggon sing ketutup kui piye hayoh?! Awak dewe malah raiso metu!”
(Nanti kalo pas kita masuk, trus pintunya macet pas di tempat yang tertutup semua itu gimana hayoh!? Kita malah nggak bisa keluar!)
Hooh… ning kok yo, aneh-aneh ae yo? Sing nggawe sopo yo?” (Hooh… tapi kok ya aneh-aneh ya? yang bikin siapa ya?)
Mbok wis, dikek i lawang biasa ae ngopo?” (Mbok sudah, dikasi pintu b

iasa aja gimana?)
“Hooh, dikek i lawang koyo omahmu kalo lho tho?”
(Hooh, dikasi pintu seperti yang di rumahmu itu lho tho—“tho” kalo dalam bahasa Indonesia semacam “Bro”)
Nganggo kere ae ngopo! Trus di pasangi lincak ngarepe. Trus ono manuk kutut e neng ndhuwur! Karo ngopi-ngopi kan penak tho metheti manuk kutut! Neng moll meneh!” (Pake kerai aja gimana! Trus dipasangi kursi malas bambu depannya. Trus ada burung perkututnya di atas! Sambil ngopi kan enak bermain sama burung perkutut! Di mal lagi!)
“Huahahaha…!”


Semua tertawa. Sebuah “rapat” kecil terjadi di depan pintu mal yang besar itu. Tanpa malu mereka membentuk lingkaran. Duduk bersila. Beralas lantai marmer yang lebar. Hanya untuk memutuskan apakah akan masuk mal itu atau tidak. Obrolan malah berkembang tak tentu arah. Imajinasi dan kelucuan terlontar. Lepas. Tanpa kepalsuan. Diantara orang yang lalu lalang. Malah yang lalu lalang tersenyum-senyum melihat kondisi Timbulsukoco dan teman-temannya. Saling menertawakan tepatnya. Timbul dan temannya menertawakan keadaan Jakarta. Akhirnya mereka diusir satpam. Menggangu pemandangan katanya! Masa lesehan di depan mal. Ini bukan Malioboro!


Maka diputuskan bahwa Timbulsukoco dan kawan-kawannya tidak jadi masuk ke mal Taman Anggrek menyusul teman-teman yang lain. Takut pada pintu, mungkin. Atau takut pada satpam! Mereka kembali ke bis. Membawa banyak kelucuan untuk dibawa pulang. Oleh-oleh untuk diceritakan saat tiba di kampus di Jogja. Dikenang besok saat berkumpul kembali.


Mal tampaknya bukan tempat yang cocok buat Timbulsukoco. Pasti kepalanya jadi pening. Pikirannya berkelana kemana-mana. Tak dapat konsentrasi. Jika berada dalam mal lama-lama bisa-bisa otaknya lepas dari kepalanya. Terpental begitu saja dari batok kepalanya. Hingga dia tak akan ingat lagi apa yang akan terjadi. Memang jarang dia ke mal.


“Tak baik buat kesehatan!” Kata Timbul. “Banyak orang-orang palsu!”
“Lha iya… wong di sana kan banyak jual baju! Jadi pasti banyak mannequin.”
“Bukan… bukan!”
“Lhoh terus?”
“Maksudnya… gini… ehm… gimana ya… o ya! Saya pas ke mal kemaren ketemu Tao Ming Tse!
“Weits! Trus?”
“Rambutnya Tao Ming Tse! Mukanya sih item! Trus kalo ngomong pake lu-gue… tapi suaranya medhog!”
“Ooo… lhah kan sama kayak kau. Medhog!”
“Iya sih. Cuman saya berusaha agar medhog saya nggak ilang. Lha itu, si Tao Ming Tse item itu! Udah medhog-nya pura-pura diilangin, tambah bicara gaya Jakarta lagi!”

“Malu kali dia.”
“Kenapa malu? Memang begitu kok. Kenapa harus dipaksakan?”
“Ya kan orientasi orang beda-beda. Kali aja dia lagi pendekatan ma cewek.”
“Ngapain?! Palsu akan selamanya palsu! Biar ditutupi pakai tembok tujuh lapis. Daun tujuh rupa dengan air dari tujuh samudra pun akan ketauan! Dia tak akan jadi laki-laki sejati!”
Halah! Gayamu! Emangnya kau ini lelaki sejati? Mana cewemu? Jarang saya liat kau sama cewe. Kuliat temen cewemu di Jogja banyak juga. Apa salah satunya punyamu?
“Ya iyalah… dari 70 mahasiswa seangkatan, yang cowo cuman 24! Tuh apa gak dobel-dobel!”
“Trus yang satunya apa punyamu?”
“Hmmm….”

“Cuman… “Hmmm”? tak kau pilih salah satunya di antara mereka?”
“Mungkin cewe memang suka dibohongi!”
“Lhah kenapa? Saya juga pernah dengar kata-kata itu. Tapi pertanyaanku belum kau jawab. Banyak juga teman cewemu. Yang sms banyak. Yang ngajak kau jalan banyak juga. Kenapa tak kau pilih salah satunya?
“Hmmm…” Sambil garuk-garuk kepala. Bingung mau jawab apa. Rambut Timbul malah makin acak-acakan saja.


Tak pandai memang Timbulsukoco menghadapi wanita. Pada dasarnya dia adalah seorang pendiam. Tak banyak bicara. Hanya mau bercerita pada orang-orang tertentu saja. Yang bisa mengikuti gaya bicaranya. Yang bisa mengikuti jalan pikirannya. Memang gaya berpikirnya agak tak meyakinkan. Zig-zag. Tak sistematis. Tapi bukannya tak konsisten. Hanya kalau sudah kenal lama mungkin akan berbeda. Bicaranya lebih blak-blakan. Memberi komentar sekenanya. Kadang malah tak masuk akal hingga terkesan konyol dan menimbulkan banyak tawa.


“Mungkin saya harus jadi si Tao Ming Tse item di mal itu ya?”
“Tu kan… it namanya gak konsisten. Tadi kau kata apa…?”
“Bukan begitu…. Hmmm.”
“Hmmm lagi!”
“Kadang saya merindukan teman-teman saya di Jogja. Bukan kadang lagi. Tiap saat. Mereka lebih jujur rasanya. Lebih terbuka. Suka bilang suka. Enggak bilang enggak. Saat saya punya kesalahan. Mereka dengan terang-terangan mengatakannya pada saya. Hingga saya dapat belajar dari kesalahanku. Di sini, sekarang ini, di Jakarta. Sepertinya mereka sungkan mengataknnya. Tau-tau saja mereka diam. Kenapa? Saya tak tau. Untung saya orangnya cuek. Jadi tak begitu kuhiraukan. Ngapain… padahal saya mau menerima apapun kritik yang ditujukan pada saya. Bahkan jika ada orang bilang saya “Bangsat!” pun akan kuterima. Asal mau mengatakannya baik-baik. Misalnya gini; Eh Mbul… kamu kok bangsat ya!”
“Hehe… jangan pukul rata donk. Ingat ini bukan kotamu. Budayamu berbeda dengan di sini. Banyak orang kira bahwa orang Jogja adalah orang lembut. Tapi nyatanya beda! Contohnya kau sendiri. Dari caramu ngobrol. Bergurau. Kau tipikal Jogja banget! Tapi memang saya rasakan sendiri, cara bercanda orang Jogja memang sarkastik. Bicara lembut namun punya arti yang dalam, bahkan menjurus kasar. Ya… sarkas tadi! Kau pasti mengira bahwa yang di kota besar ini lebih terbuka kan?”
“Yak betul!”

“Ternyata beda bukan?”
“Yak betul!
“Ingat… seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Jangan hanya mempercayai kabar burung. Kau harus merasakannya sendiri. Posisikan dirimu seperti mereka. Jadi jangan menghakimi.”
“Weits… kata-katanya Pramoedya Ananta toer itu. Di novelnya “Bumi Manusia”.”
“Hehe…”
“Tapi… dengan tidak mengatakan duduk persoalannya. Mana tau saya apa kesalahanku? Emangnya saya bisa membaca pikiran orang? Lagian kenapa orang-orang yang tahu kesalahanku itu tak mau juga cerita pada saya, jika tak kupaksa. Apa mereka mau merawat luka yang lama-lama akan jadi busuk?”
“Udah dibilangin! Budayamu tuh beda dengan di sini! Kau harus terima! Kau minoritas di sini. Kau akan dianggap gila jika tak mengikuti mereka!”

“O jadi saya memang harus jadi Tao Ming Tse itu?”
“Nggak perlu! Adhuh… kenapa kau begitu terobsesi sama dia sih?”
“Kalo saya jadi kayak Tao Ming Tse tadi, kan saya sudah bisa bohongi cewe. Dengan begitu saya akan jadi playboy. Saat saya jadi playboy maka tak akan saya sisakan satu cewe pun di dunia ini buat lekaki manapun! Termasuk buat Brad Pitt, Primus, Bill Clinton apalagi kau! Tadikan katanya kalo tak ikut maka akan dianggap gila.”
“Memang kau sudah gila!”
“Asemik!”
“Trus?”
“Apanya?”
“Kenapa kau jadi antipati sama mal?”
“Antipati bukannya benci. Mal. Dibikin sedemikian rupa. Oleh arsitek-arsitek

kelas atas. Etalasenya disusun rapi. Banyak barang di sana. Mata jadi manja. Terbuai oleh imajinasi-imajinasi. Dihasut iklan. Supaya kita beli. Buat dipakai. Dipakai berpalsu tadi. Saya lebih memperhatikan manusianya sih. Seperti… apa ya? Aura saya tak cocok dengan mal itu. Berpalsu-palsu. Saya tak betah. Tak nyaman. Berjuta rayuan gombal cowo pada cewenya. Ya ampun… moga-moga si cewe itu tetap sadar akan dirinya yang sedang dihadapkan pada kepalsuan. Juga si cowo harus berhati-hati. Semakin banyak kata semakin banyak kesalahan. Mereka kira mal hanya milik mereka. Segerombolan pengerat yang coba menguras harta orang tuanya. Mereka pikir semua di dunia ini bisa dibelinya dengan uang. Bisa diselesaikan dengan uang. Tinggal bawa nota. Bawa ke kasir. Semua masalah selesai… gedung gagah itu cukup untuk menutupi wajah yang dia kira tak layak untuk ditonton. Sembunyi mereka dalam yang palsu-palsu.”
“O… menarik? Apa tak ada hal positif di sana? Yang negatif selalu ada yang positif kan. Ingat Tuhan menciptakan alam ini berpasang-pasangan.”

“Hmmm…”
“Hmmm lagi! Edan! Pasti soal cewe!”
“Ngapain sih setiap “Hmmm”-ku kau hubungkan sama cewe. Mungkin saja saya sakit tenggorokan!”
“Ya apapunlah… apa hal positifnya?”
“Belanja. Cuci mata. Mau apalagi?”
“Cuman itu?”
“Cuman!”
“Sedikit sekali.”
“Ya cuman itu. Tak ada hal lain yang menarik. Ya…yang datang memang menarik juga sih. Tubuh tinggi semampai mirip lagunya Dewa 19. Pernah saya berada di mal.

Paling lama sepanjang hidupku. Hingga mal-nya udah tutup, saya masih di sana! Memang ada satu alasan yang menahanku ada di sana. Memang tak semampai seperti lagu Dewa 19 tadi. Tapi matanya menarik. Menggaris. Melengkung menghias muka. Kalo tertawa menyenangkan. Cantik sekali. Dapat kulihat kilauan matanya yang cantik mengintip dibalik kelopaknya. Taukan, apapun bisa dilihat pada mata. Hati-hati memandang mata seseorang. Apalagi lawan jenismu. Seperti Medusa saja. Kau akan membatu. Sulit bergerak. Tak tau kau akan berbuat apa. Tak tau apa yang akan kau katakan. Bisu. Kau jadi batu. Apalagi bagi saya yang pendiam ini. Baru sekali-kalinya ketemu lagi. Mau berbuat apa saya dalam mata seperti itu, coba? Pandangannya seperti ribuan panah cupid menyerang. Jika tak siap menangkis akan jatuh kau dalam sudut kerlingnya sekalipun. Seperti itu lho… lagu lama yang dinyanyikan White Shoes and the Couple Company. Apa yang harus kulakukan? Tak tau saya cara memperlakukan wanita. Kan sudah saya bilang kan tadi.

Ibuku pernah bilang, saat kami berjalan menuju pasar Sambilegi; Nak kalo berjalan bersama wanita, kau harus yang paling dekat dengan jalan. Kau laki-laki. Tunjukkan bahwa mampu melindunginya, walau hanya dalam hal kecil seperti ini. Entah itu dengan wanita manapun. Pacarmu. Istrimu. Atau teman perempuanmu. Tapi masih saja saya bingung. Tau kan keadaanku kalo kelamaan di mal? Tak bisa berpikir jernih. Kalang kabut otakku. Rasanya sudah siap otakku meloncat dari kepalaku. Pulang sendiri. Meninggalkan kepalaku sendiri terbengong-bengong mirip orang bego di mal. Di mal semuanya adalah jalan. Sepertinya semua aman kan? Kecuali jika ada supir pesawat Boeing 737 lagi ngantuk dan kendaraannya kesasar masuk mal itu bisa dikatakan keadaan luar biasa berbahaya sedang terjadi!

“Sebegitunya kau sama mal. Lalu kenapa tak kau ajak aja dia ke café? Sambil menikmati musik jazz atau musik-musik easy listening lainnya. Sembari main scrabble kayak di Jazzcoffee kan asik. Atau sambil baca buku seperti di Deket Rumah Café sembari ngobrol di temani es coklat dan camilan. Atau di Kedai Kopi, kalau kau bawa laptop kau bisa internetan gratis di sana!”

“Yah ini manusia! Gak tau apa? Saya gak tau café di Jakarta seperti apa. Itu di Jogja! Saya dengan mudah menemukannya. Mau apa? Sambil nonton film gratis, tinggal ke Kinoki Café. Atao yang sambil liat leleran lahar merapi dengan ditemani musik keroncong tinggal naik ke Kedai Poci di Kaliurang! Asal jangan ke Hugo’s Café aja! Sama saja bunuh diri! Lebih palsu lagi manusia di sana!”
“Lhah terus?”
“Yah… kau bisa tebaklah! Tak banyak bicara saya di sana. Tak seperti di sms. Beda komunikasi lewat tulisan dengan lisan langsung. Di sms ada waktu untuk berpikir. Menyusun kata. Jika tak dibalas. Maka ribuan duga sangka akan muncul. Jadi setelah pertemuan itu, wajar jika dia berpendapat apapun. Berapresiasi apapun tentang saya. Bahkan pendapat paling negatif sekalipun. Sa

ya rasa saya harus menhormati apapun pendapatnya. Pendapat tak ada yang salah bro! Pikiran manusia akan menyimpulkan dengan sendirinya. Kerangka pengalaman dan kerangka berpikirnya akan saling berkompromi menghasilkan kesimpulan. Mungkin juga saya memang bersalah. Taukan otak saya sudah jalan pulang lebih duluan di mal itu? Jadi seperti lupa ingatan saya. Apa saja yang kulakukan selama di mal itu? Adakah saya kelupaan sesuatu? Mungkin saja? Ah… bodohnya! Masih banyak yang harus saya pelajari tentang dunia venus ini.
“Wah… menarik. Tapi saya kira tak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada hanya orang yang belum tahu. Makanya saya setuju. Kau memang harus belajar. Bertemu banyak orang akan membantumu.”
“Moga-moga aja. Apa memang perlu saya jadi Tao Ming Tse tadi?
"Yak ampunnnn!!! Tao Ming Tse lagi! Jika ketemu ibunya Tao Ming Tse akan kusuruh dia memasukkannya kembali ke dalam rahimnya. Cukup begini saja. Cukup kau jadi Timbulsukoco! Tak perlu jadi orang lain. Hanya saja, ijinkan orang lain melihat dirimu lebih dalam lagi. Biarkan orang mengenalmu. Setelah mengenalmu, ternyata nyaman kok ngobrol denganmu. Banyak hal bagiku yang bisa kudapatkan.”

“Halah…!”
“Tapi bisa juga kau bercerita. Si Timbulsukoco yang katanya pendiam ini! Melankolik. Dengan gayamu sendiri. Tapi kau bicara dengan banyak alasan. Alasan beda budayalah. Kependiamanlah. Otakmu yang bisa lari-lari pulang ke kosamulah…
“Bukan lari… otakku naik taksi sendirian!”
“… ah, apapun itulah! Banyak alasan saja kau ini bercerita. Intinya kau tak bisa menghadapi perempuan, titik! Itu kan?! Tak peduli apa yang terjadi padamu, itu adalah masalahmu. Hadapi dia. Alasan-alasan hanya akan memperlihatkan bahwa dirimu lemah. Berlindung di balik alasan. Bukan sifat seorang ksatria. Egois! Jika kau merasa salah, minta maaf saja. Masalah jawabannya iya atau tidak, itu urusan dia. Ingat kesempatan tak datang dua kali!”

“Ah… saya tak percaya. Kesempatan tidak datang sekali. Dia datang berkali-kali. Hanya saja kita harus memilih yang terbaik dari banyak kesempatan itu. Hingga seakan-akan dia datang hanya sekali.”

—o0o—

Uh… obrolan tentang jatidiri. Jadi kaca dia bagi diri Timbulsukoco ini. Kota ini memberikan banyak pengalaman. Makin tahu saja ia tentang dirinya sendiri. Walaupun belum semuanya. Paling tidak sedikit demi sedikit banyak pertanyaan, yang terpancang tiap waktunya di kepalanya, satu per satu mulai menemukan jawabannya. Hidup memang seperti petak-petak puzzle. Banyak teka-teki. Kadang jawaban dulu yang muncul. Baru pertanyaan menyusul. Memang aneh sepertinya. Namun keping-keping hidup yang dilewati sedikit demi sedikit akan segera tersusun.


Manusia. Selalu tak akan pernah puas. Itukan kelebihan yang di berikan Tuhan pada ciptaannya yang paling sempurna ini. Berpikir! Diberi-Nya kita segumpal lemak di kepala untuk melakukan itu. Sayangnya, itu masih jadi pekerjaan yang terlalu berat. Berpikir. Hingga tak banyak orang yang mau melakukannya. Berpikir. Maka akan banyak pertanyaan yang muncul di sana. Kenapa kita ada di sini? Ke mana kita? Apa yang akan kita lsayakan? Siapa itu Tuhan?


Selalu ada jawaban dari begitu banyaknya pertanyaan itu. Hanya saja jawaban-jawabannya kadang terlalu lama. Dan kita dirundung putus asa dan menyimpulkannya sendiri. Tak salah. Memang tak ada salahnya. Memang manusia selalu tidak sabar. Selalu tak puas tadi. Pikirannya sendiri pun bisa meracuni dirinya. Dan akhirnya putus asa juga. Huh… putus asa! Hanya milik orang-orang yang kalah. Kalah sekalah-kalahnya! Hanya orang konyol yang mengakhiri keputusasaan dengan bunuh diri. Perbuatan paling konyol. Dikutuk sama Tuhan! Memang tak pantas orang seperti itu hidup. Hanya jadi kotoran dunia. Sudah kalah sebelum berperang. Tzun Tzu pun akan berang bukan kepalang jika bertemu orang seperti itu.


Jakarta. Di Jakarta ini. Tentunya banyak keputusasaan. Banyak cita-cita terkumpul di sini. Maka banyak juga yang tak tercapai. Yang tak kuat akan putus asa. Menyesali nasib. Terlambat. Salah sendiri, kenapa mau manjadi peserta dalam kompetisi besar di Jakarta ini?! Dalam kompetisi selalu ada yang menang dan kalah. Itu sudah pasti. Hal terburuk harus mendapatkan jalan keluarnya. Siap kalah. Siap pula menang. Itu resiko. Selalu ada resiko dalam banyak hal. Jika dilakukankan secara benar. Kompetisi bukan halangan besar. Itu Sesuatu yang menarik untuk dilewati. Mengenalkan pada banyak hal. Harus disikapi dengan pikiran terbuka dan dewasa.


Sudah saya bilang, di Jakarta orangnya lucu-lucu. Panggung Srimulat besar dengan ikon tugu monas. Kata temanku, yang orang Jakarta juga, orang-orang Jakarta sama semua. Apalagi yang muda. Hidupnya seperti bebek. Ekor mengekor hingga panjang. Satu mode lagi naik, maka di ujung yang lain akan segera mengikuti. Itu bukan kata Timbulsukoco lhoh! Kata temen Timbulsukoco sendiri yang orang Jakarta. Jadi inget dia sama bebek-bebek tetangganya yang tiap sore lewat di depan rumanya. Berjalan beriringan. Mencericau tiada henti. Tak jelas apa yang diomongkan. Sudah hapal bebek-bebek itu dengan jalan yang akan dilaluinya. Si tukang angon malah berjalan di belakangnya.sambil makan ubi rebus dari dapurnya. Wek… wek… wek… berjalan megal-megol. Tubuh ramping. Amboiii…. Betapa centilnya!

—o0o—

Aih… masih saja Timbulsukoco di sini. Jakarta. Tempat banyak ego juga terkumpul di sini. Merantau si Timbulsukoco ini di sini. Dia akan jadi perantau. Kata seorang temannya ketika membaca garis tangannya. Walaupun dia selalu ingin pulang dan tetap di Jogja, namun rejekinya bukan di Jogja. Timbulsukoco harus keluar, kata temannya itu. Tetap jadi perantau. Ke banyak tempat. Traveler. Memang sejak kecil dia tak pernah selalu ada di tempat. Terutama jika liburan. Baru Jawa, Bali dan Sumatra saja tempat di dunia ini yang sudah diinjak Timbulsukoco. Masih banyak belahan bumi ini yang sayang jika tak dirasakanya sendiri.


Jakarta. Tempat terlama di luar Jogja, yang dia tinggali. Sudah hampir setahun. Terlalu lama, bagi Timbulsukoco, untuk meninggalkan Jogja. Tapi inilah mungkin garis hidupnya. Paling tidak menurut garis tangan yang pernah dibacakan temannya. Uh… kota yang lucu. Kenapa harus tertekan? Kenapa harus frustrasi? Bukankah Jakarta adalah bagian dari Jogja? Lihat saja tulisan “Jogjakarta”! lihat kan! Terlihat jelas. Jakarta bagian dari Jogja. Jog-Jakarta. Betapa lucunya. Kota ini lucu juga jika dipikirkan. Sangat bertolak belakang dengan kotanya sendiri. Hanya untuk main sepakbola saja susah. Harus menyewa. Dihitung detik per detiknya. Tak boleh lebih, jangan kurang. Kasihan. Di Tempat Timbul, masih tersedia banyak lapangan. Bekas sawah. Bermain di sana, ditemani kambing, sapi, ayam, bebek dan lintah-lintah. Sebuah parodi tentang gaya hidup. Sebuah Joke Jakarta.


Loteng Kos-kosan
4 Agustus 2007