Wednesday, January 23, 2008

Jogja dan Film

Suatu kali teman saya menelphon hingga dua kali. Keduanya gak saya angkat karena HP saya tertinggal. Lalu saya menelphon balik dia. Ternyata dia hanya mau bilang kalau dia ilfill sama Jogja karena melihat film “Perempuan Punya Cerita”. Dia bilang, saya sebagai orang Jogja harusnya memberikan, semacam, protes pada sang sutradara. Dia sendiri tak rela dengan penampakan Jogja di film itu, walaupun bukan orang Jogja.


Mungkin akan beda jika “Perempuan Punya Cerita” adalah sebuah survey yang gak begitu valid yang pernah menghebohkan Jogja beberapa tahun lalu. Tapi “Perempuan Punya Cerita” ini adalah sebuah film. Hasil karya dari 4 sutradara perempuan. Digadang-gadang film ini merupakan suara perempuan, bisa dilihat dari judulnya, sutradaranya juga ceritanya. Kita tahu di negeri ini perempuan selalu menjadi bagian yang marjinal, karena memang tak lepas dari budaya patriarkal yang sudah kadung melekat.

Menurut kabar juga, film itu dibuat berdasarkan survey. Entah survey macam apa yang dipakai. Asal jangan mengulang jenis survey yang dilakukan Iip Wijayanto saja!


Suatu saat, dalam sebuah mailling list (milis) yang saya ikuti, ada yang bertanya soal iklan... (saya lupa nama produknya, karena itu iklan rokok! Sangat nggak penting untuk diingat. Jadi saya tak perlu bersusah payah mengingatnya.) Dalam iklan itu menceritakan beberapa karyawan kantor yang mendapat hadiah liburan ke Jogja. Kontan 3 orang karyawan itu senang bukan main. Lalu berteriak bersama “Jogja!” dengan gaya yang khas. Sepanjang perjalanan, mereka tak henti-hentinya berteriak “Jogja!”, hingga mereka kecapekan dan tertidur dalam pesawat. Saat mendarat mereka masih saja berteriak “Jogja!”, padahal pesawat sudah mendarat di Bandara Ngurah Rai. Mereka semakin girang karena sampai di Bali. Berasa lebih. Karena melebihi impian dari sekedar ke Jogja.

Orang yang bertanya itu juga merasa sebal dengan iklan itu. Juga beberapa orang dalam milis. Katanya, iklan itu akan menyakiti orang Jogja. Karena Jogja dianggap nomor dua. Mereka pun mengajukan pertanyaan itu.

Maka, saya sebagai orang yang begitu mencintai Jogja pun menjawab. Tidak apa-apa, tak ada masalah dengan iklan itu. Saya sendiri suka dengan teriakan mereka “Jogja!”. Jadi ingin pulang bertemu teman-teman di sana, yang siap juga dengan teriakan a la iklan itu “Jogja!”. Saya memang begitu mencintai Jogja, karena saya lahir dan besar di sana. Kampung halaman untuk saya pulang. Namun saya juga suka Bali, satu-satunya tempat di indonesia yang begitu datang langsung saya suka. Biarpun Bali dibilang nomor satu dan Jogja nomor dua. Biar Paris adalah negeri paling eksotis. Namun bagi saya, Jogja tetaplah kota paling indah di dunia!

Begitulah jawaban saya, dan obrolan “Bali vs Jogja” di milis itu pun berhenti.


Baru saja saya menyelesaikan nonton DVD yang judulnya “This is England!” yang menceritakan nasionalisme Inggris, sekitar tahun 80'an. Kehidupan para Skinhead yang keras. Perlakuan mereka terhadap kaum pendatang, terutama pada orang Pakistan yang mereka sebut “Paki!”. Potret buram generasi muda Inggris dengan narkoba dan kekerasan. Belum lagi perilaku seks bebas. Film seperti itu juga ditemui di “Trainspotting” yang menceritakan para pecandu narkoba di Inggris. Belu lagi film “Two Smoking Barrels” dan “Snatch” yang menceritakan perampokan di Inggris. Kehidupan anak kecilnya pun tak kalah miris dalam film “Mickey Bo and Me” yang belajar merampok. Potret-potret buram dari sisi para sutradara tentang kehidupan di Inggris. Namun tetap saja, saya sebagai orang Indonesia selalu ingin datang ke Inggris. Cita-cita saya sejak kecil adalah melihat dunia lain dengan tujuan utama Inggris dan Perancis!


Jadi tentang film itu, rasanya biasa-biasa saja. Tak ada masalah dengan film itu. Jika pun harus dilawan, tentunya akan lebih dewasa jika dilawan pula dengan karya. Memang belakangan banyak film Indonesia yang menggunakan Jogja sebagai settingnya. Sebut saja “Mengejar Mas-mas”, “3 Hari Menuju Jogja”, “Daun di Atas Bantal”, “Otomatis Roamantis” dan sebagainya. Terlihat bahwa bermacam-macam apresiasi tentang Jogja. Film “Perempuan Punya Cerita” adalah salah satu dari interpretasi itu. Apresiasi mereka tentang Jogja bisa bermacam-macam. Memang harus, disanalah peran seniman. Terlepas dengan adanya riset-riset, atau menjual tema seks pelajar jogja agar para pedhophili pada tertarik sehingga daya jual filmnya meningkat. Lagi pula Upi Avianto, yang jadi salah satu sutradara yang mengangkat tema Jogja, bukan orang Jogja.


Dalam sekuen garapan Upi Avianto itu diceritakan tentang pelajar Jogja yang terseret dalam kehidupan seks bebas. Cerita yang bisa dikaitkan dengan penelitian Iip Wijayanto, beberapa tahun lalu yang menyebutkan bahwa 98% wanita di Jogja sudah tidak virgin. Katanya, film itu mengupas sisi lain dari Jogja sebagai kota pelajar dan kota budaya. Diminta para orang tua harus berhati-hati dengan terus mengawasi anaknya, terutama anak perempuannya, jika menuntut ilmu di kota Gudeg itu. Agak bingung juga pada sisi ini, sementara para feminis menuntut kebebasan dan kesetaraan. Namun mereka sendiri menyuruh untuk mengawasi. Tapi itulah film, setelah dilempar ke pasar. Sutradara akan menjadi orang belakang. Jika masyarakat suka, maka film itu akan laris. Jika tidak maka hal sebaliknya akan terjadi.


Jogja memang mempunyai dinamika tersendiri. Dinamika itu juga berimbas pada apresiasi masyarakat tentang Jogja itu sendiri. Memang kedinamisan itu mulai surut seiring waktu. Media juga ikut serta dalam merubah Jogja. Tak dapat dipungkiri jika wajah media di Indonesia adalah representasi dari Jakarta. Maka di Jogja pun tak sedikit orang-orangnya yang bicara logat Jakarta. Di radio kata “lo-gue” pun tak jarang terdengar. Malioboro yang dahulu menjadi rendezvous para seniman pun semakin hedon. Namun masih juga banyak terlihat seniman wira-wiri merespon tembok jembatan layang untuk dijadikan ajang mural, kaos sebagai identitas dirinya. Juga bentuk helem yang tak terduga.


Kedinamisan yang dimiliki Jogja itulah yang membuatnya menjadi menarik. Selalu saja ada hal baru. Seperti saat saya SMA dulu. Tak satupun dari teman sekelas saya yang berniat membolos. Karena setiap hari adalah hal baru. Tak bosan-bosannya kami bertemu teman sekelas. Kami begitu kompaknya, hingga kelas lain merasa iri. Jika pun membolos, pasti akan dilakukan satu kelas. Terpisah di hari minggu pun, kami sudah saling merindukan. Pasti ada pengalaman baru setiap harinya dengan teman-teman. Bagian hidup inilah yang paling banyak berpengaruh dalam kehidupan saya. Nostalgia-nostalgia seperti itu, salah satunya, yang membuat saya selalu rindu dengan Jogja. Biar bagaimana pun jelek orang bercerita tentangnya.

Jogja dari kamar saya. Gunung Merapi yang sedang meletus (beberapa bulan sebelum gempa)



Abdi dhalem (foto: www.yogyes.com)
Pasar sejak jaman Belanda (foto; www.yogyes.com)