Monday, July 07, 2008

Dasar Orang Jogja!

Sebuah insight yang dilontarkan teman saya, Shierly yang cantik, Perempuan keturunan Tionghoa yang berlesung pipit, tentang orang Jogja adalah "...hampir semua orang Jogja yang saya kenal, sangat membanggakan ke-Jogja-annya dan Sri Sultan yang bijaksana."

Saya mulai makin sadar bahwa saya pun begitu, namun tidak untuk alasan yang kedua! Teman-teman dari Jogja yang saya temui juga ternyata melakukan hal yang sama. Namun, bukankah itu bagus! Setiap individu menjadi PR (Public Relations) bagi kota tercintanya. Tak jarang, orang yang saya kasi cerita tentang Jogja pun menjadi penasaran dengan Jogja. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berlibur beberapa hari di Jogja. Dan tebakan saya pasti benar! Dia akan segera jatuh cinta sama Jogja.

Mungkin karena Jogja adalah tempat lahir saya, hingga saya begitu menyukainya. Begitu lahir mak jebrul! Saya sudah bersentuhan dengan kerajinan tangan sepatu milik simbah saya, puisi dan lukisan bikinan Pak Dhe saya lengkap beserta obrolan-obrolan bersama seniman-seniman Jogja yang kondang di masanya. Saya anggap membosankan, karena waktu kecil obrolan mereka terlalu berat. Bahkan, saya pernah bilang sama temen saya (salah satu yang terprovokasi itu) bahwa "saya lebih mengenal Jogja daripada diri saya sendiri!"

Jogja adalah kota yang unik. Walaupun sejak lahir saya sudah di sana, namun sepertinya tiap hari banyak hal baru yang bisa ditemukan. Jalanan sempit Kota Gedhe sehabis hujan, pemandangan sore langit Jogja yang selalu indah, manusianya dan segala macam yang menempel dengan Jogja. Jogja punya kharismanya sendiri. Walaupun tak secantik kota-kota besar tingkat dunia, namun dia seperti perempuan cantik penuh pesona yang selalu memberikan inspirasi jika kita mau memahaminya.

Sekarang saya di Jakarta. Kota yang kata orang semuanya tersedia ada di sini. Namun saya gak percaya dengan kata orang itu. Di sini serba dalam keterbatasan. Tak semuanya ada di sini, terutama yang berhubungan dengan pertemanan, persahabatan, cinta dan kasih sayang.

Suatu saat teman saya yang orang Jogja menunjukkan kekesalannya pada sebuah iklan di televisi yang menganggap Bali lebih baik dari Jogja. Kata saya "Biarkan saja, lagipula kata "Jogja" lebih banyak dis ebut di iklan itu!".
Saya pun pernah merasa sebal dengan penelitian Iip Wijayanto yang mennyatakan bahwa "98% mahasiswi di Jogja tidak perawan!". Namun belakangan saya menjadi punya pandangan lain. Di tengah dinamika Jogja yang semakin ruwet. Saya berharap penelitian Iip Wijayanto diekspose lagi, sehingga akan banyak orang berpikir bahwa Jogja tak sesempurna kelihatannya. Jadi Jogja akan kembali sepi. Dan nostalgia masa kecil saya yang sering diajak nongkrong oleh Pak Dhe saya terjadi lagi. Malioboro kembali dikuasai seniman. Jalanan mejadi lengang. Mall pada tutup. Dan Jogja kembali menjadi Jogja!

3 comments:

Unknown said...

huhuhuhuuh...

jadi inget lagunya KLA...
jadi inget kalo mo kebandung naek kereta trus lwt Jogja....brasa gmanaa getoh....(ah sok melow dan dramatis ^_~)

Mulanee..suruh kantormu buka cabang nang Jogja waeeee piye Nan...
heheeeheh

Anonymous said...

jogja itu penuh pesona, jogja itu kayak candu, dan saya adalah salah satu korban candu itu ^_^
sekali ke jogja, you will love the ambience of jogja...duh, jadi pengen ke jogja lagi..kapan yah ksana lagi...kangen sama mirota...heaven on earth!! meskipun kurang bisa menikmati makanan yang ada di jogja...tapi, tetep kok jogja megang!!

Anonymous said...

Betul... malioboro bukan milik orang jogja lagi.........